"A prayerful life, lived in community,and generously serving others has remained a constant Carmelite ideal."
Friday, January 11, 2008
Perintah Agung Kasih
Kompas, 31 Oktober 2007
Dalam kesempatan Idul Fitri 1428 Hijriah lalu, para pemimpin Muslim dari berbagai tempat di dunia menulis sebuah surat terbuka kepada Paus Benediktus XVI dan para pemimpin Kristiani lain. Surat terbuka ini menekankan kembali semangat kerja sama antarumat Muslim dan umat Kristiani dalam mengusahakan perdamaian di dunia.
Aref Ali Nayed, teolog Muslim dari Libya, menegaskan, "Daripada berpolemik, para penanda tangan telah menyarikan ajaran tradisional dan mendasar agama Islam untuk menghormati Kitab Suci orang Kristiani dan sambil mengajak kaum Kristiani untuk semakin lebih, bukan kurang, setia pada ajaran Kitab Suci mereka." Di tengah perbedaan yang ada, surat ini menggarisbawahi persamaan tertulis dalam Alkitab dan Al Quran, yakni "mengasihi Allah dan sesama manusia".
Para pemimpin Muslim berpendapat, perintah agung kasih adalah "fondasi teologis yang paling solid dan mungkin" (the most solid theological foundation possible) dibangun bersama umat Muslim dan Kristiani.
Kasih pada sesama manusia
Dalam surat terbuka itu, diakui bahwa perintah agung kasih merupakan dasar kokoh etika sosial. Dua perintah kasih ini menyatu erat dan tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lain karena pemisahan antarkeduanya hanya akan melahirkan chaos.
Pertama, jika perintah mengasihi Allah terlepas total dari mengasihi manusia, akan lahirlah kekerasan pada sesama manusia yang mengatasnamakan Allah. Demikianlah fanatisme, padahal fanatisme dalam agama apa pun merupakan ungkapan kedangkalan pengetahuan intelektual atau pengalaman rohani akan Allah.
Dari fanatisme juga lahir terorisme, suatu bentuk paling brutal dan ekstrem dari kekerasan terhadap sesama manusia. Dalam terorisme, fantasi yang berlebihan tentang perang kosmis antara yang baik dan yang jahat menjadi acuan tindakan teror yang menciptakan keresahan di sana-sini, bahkan menghancurkan hidup orang lain yang tak berdosa yang dianggap musuh. Yang lebih fatal, kekerasan brutal ini dilakukan "karena Allah memerintahkannya". Kekerasan semacam ini adalah suatu bentuk utopia kosong yang berprinsip salah, "tujuan menghalalkan segala cara". Allah adalah sumber kedamaian tidak mungkin memerintahkan kekerasan brutal yang memakan korban nyawa sesama manusia. Tentang hal ini, surat terbuka itu menulis, "Jika kita tidak memberikan kepada sesama apa yang kita sendiri kasihi, kita tidak akan pernah mengasihi Allah atau sesama kita."
Kedua, jika mengasihi sesama dilepaskan total dari mengasihi Allah, yang lahir adalah humanisme mendangkal yang bisa mengarah ke ateisme. Kalau Allah sebagai Kebaikan Tertinggi dilupakan dalam hubungan kasih antarmanusia, yang lahir bukan kasih pada sesama, tetapi sikap utilitaris sempit yang mendasarkan diri pada kenikmatan. Orang lain dijadikan alat untuk mencapai kesenangan diri. Orang lain yang lemah diperalat dan kukorbankan untuk tujuan politis sendiri. Selerakulah yang menjadi sumber moralitas, persis seperti emotivisme yang ditawarkan David Hume.
Dasar perdamaian
Perintah agung kasih itu dengan demikian adalah dasar kokoh untuk membangun perdamaian sejati. Atas dasar inilah surat terbuka itu menyerukan perdamaian bagi seluruh manusia. Seruan ini bukan demi suatu sopan santun dalam dialog antaragama dan bukan untuk kaum intelektual atau pemimpin saja.
Sayang, banyak orang salah paham akan makna perdamaian. Pengaruh Julius Caesar yang mendefinisikan, Si vis pacem, para bellum (barangsiapa menginginkan damai, siapkanlah perang) cukup besar. Jika kedua pihak seimbang kekuatan militernya, tidak akan ada perang dan lahirlah damai. Inilah perdamaian palsu yang lahir dari "ketakutan bersama".
Damai sejati tidak berdasarkan atas berimbangnya kekuatan seperti ini, tetapi atas dasar berbagi kasih, saling mengisi kekurangan satu dengan yang lain, dan saling bekerja sama untuk membangun dunia yang lebih baik. Damai sejati dengan demikian adalah suatu tatanan nilai dan tugas universal yang berdasarkan pada tatanan masyarakat yang menghargai akal budi dan nilai-nilai moral, dan yang berakar pada Allah sendiri, Sang Kebenaran dan Kebaikan Tertinggi. Jadi damai sejati berasal dari kasih akan Allah dan dari sini mengalirlah kasih akan sesama.
Perdamaian juga mengandaikan keadilan karena damai akan terancam jika hormat pada manusia sebagai pribadi diabaikan. Fungsi keadilan adalah menyingkirkan segala yang menghambat dan merusak perdamaian antarsesama.
JF Kavanaugh dalam Who Count as Persons? (2001) mengingatkan bahwa milenium baru ini akan menjadi suatu zaman saat hormat kepada pribadi manusia akan memudar dan lenyap dan mengembalikan penghormatan ini bukan sekadar jargon moral-akademis, tetapi suatu tugas yang harus menyentuh setiap aspek kehidupan.
Maka, penghormatan pada pribadi manusia dan menghargai hak-hak asasinya merupakan langkah mendasar untuk membangun dunia yang damai, yang mendukung perkembangan integral tiap pribadi yang hidup di dalamnya.
Surat bersama diakhiri dengan dua salam damai dalam bahasa Arab dan Latin, dengan harapan agar salam indah itu menggema di hati umat manusia yang mendengarnya: Assalamualaikum, pax vobiscum!
Benny Phang Dosen Etika,
Anggota Centro Internazionale Sant’ Alberto/ CISA, Roma
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment