"A prayerful life, lived in community,and generously serving others has remained a constant Carmelite ideal."
Wednesday, February 20, 2008
Siapakah Sesamaku Manusia?
Kengerian Redefinisi Sesama Manusia
Dalam keseharian sering terlontar di luar kesadaran kita pertanyaan dan pernyataan yang mendefinisikan sesama kita dalam kotak-kotak definisi tertentu.
Ketika melihat saudara yang perilakunya tidak alus, kita segera mencap saudara itu, “Kok tidak njawani ya?” (Kok tidak santun seperti orang Jawa). Ya tentu saja tidak, karena saudara tersebut adalah orang Ambon. Lucu jadinya kalau orang Ambon jadi njawani. Di kalangan Tionghwa, orang sering menilai orang lain dengan, “Orang itu zhong kuo ren (orang Cina) bukan ya, kok matane sipit kayak kita?” Di kelompok Batak, orang yang tidak sesuku sering disebut, “Ndang halak hita do ibana i.”(Bukan orang kita lah dia itu) Kita juga sering dengan nada campur aduk antara merendahkan, minder, dan sebal, menganggap semua orang berkulit putih sebagai Belanda, atau Londo. Padahal tidak semua orang ber-ras Caucasians itu orang Belanda. Ada orang Jerman, Prancis, Polandia, Irlandia, Inggris, Amerika, dan lain sebagainya. Film independen “Crash” yang memenangkan Academy Award 2006 sebagai film terbaik menuturkan kembali problem-problem rasial yang hidup dalam benak kita yang justru malah menghancurkan kita sendiri. Ini semua merupakan proses kotak mengkotakkan sesesama manusia dari segi suku, ras, dan bangsa.
Juga sering pendefinisian sesama berdasarkan agama. Orang Kristen dipandang sebagai orang yang agresif menyebarkan Injil tanpa pandang bulu, pokoknya sikat saja. Orang Katolik dibilang mati ibadatnya seperti di kuburan karena heningnya, dan ajaran moralnya amat sangat kaku. Orang Muslim dibilang tidak toleran. Orang Budhis dibilang terlalu keras pada dirinya sendiri dan tidak modern. Orang Hindu dibilang seperti dukun.
Belum lagi ketika orang mulai melihat perbedaan itu sebagai jalan untuk mengkategorikan apakah orang lain itu sungguh-sungguh manusia sesamaku. Sebagai contoh, pada zaman penemuan dunia baru, yakni benua Amerika di sekitar zaman Christopher Columbus, para pendatang baru untuk pertama kalinya bertemu dengan penduduk asli. Dengan pengetahuan mereka yang sempit dan salah kaprah, penduduk asli ini mereka sebut sebagai Indians, karena mereka mengira bahwa pelayaran mereka sudah tiba di negeri India. Para Indian ini memiliki budaya, tingkah laku, bahasa, warna kulit, dan struktur wajah yang berbeda dengan para Europeans-Caucasians waktu itu. Yang terjadi kemudian adalah mereka menjajah dan memperbudak para Indian itu.
Tragisnya, sambil memperbudak sesamanya manusia, para Caucasians itu melontarkan suatu pertanyaan konyol, “Are those Indians human beings?” Pertanyaan konyol ini kemudian berkembang menjadi debat filosofis-teologis berkepanjangan, bahkan sampai menimbulkan perseteruan sengit dalam Gereja. Akhirnya, Paus Pius III turun tangan, dengan bulla Sublimis Deus (1537), ia menentang keras perbudakan para Indian itu dan menyatakan dengan tegas bahwa “the Indians themselves indeed are true men.” Bulla ini menghentikan perdebatan dan berangsur-angsur namun dengan pasti mengurangi perbudakan manusia.
Juga di negeri kita yang katanya orang-orangnya ramah tamah ini banyak praktek yang memojokkan sesama yang mengemban cacat fisik apalagi cacat mental. Menghadapi orang yang cacat fisik, mereka yang menganggap diri normal bereaksi bukan menghargai orang-orang cacat tersebut sebagai manusia seperti dirinya, tapi sebagai mahluk yang pantas dikasihani dan pantas diberi sedekah. Padahal para penyadang cacat itu bukan pengemis belas kasihan! Tak ada usaha bersama untuk membangun fasilitas umum yang menghargai dan memberi para penyandang cacat tersebut akses yang memudahkan hidup mereka.
Apalagi terhadap para penyandang cacat mental. Dengan hantam kromo kita segera mengatakan bahwa pribadi-pribadi yang cacat mental itu adalah wong edan, wong gendheng. Mereka menakutkan. Tempat mereka ya di rumah sakit jiwa. Kita takut menerima mereka apa adanya dalam kehidupan normal masyarakat kita. Sungguh menyedihkan sikap kita ini.
Itu semua dalam hidup keseharian. Dalam dunia yang canggih-canggih, seperti yang saya alami hidup bertahun-tahun di negeri Paman Sam, tindakan mendefinisikan kembali manusia ini semakin menjadi brutal. Repotnya tindakan brutal ini dibungkus dengan bahasa canggih sains yang begitu memukau khalayak yang kehausan info-info sains super modern dan futuristik.
Demi kemajuan sains, manusia mulai dipertanyakan keberadaannya. Ada tindakan-tindakan yang mencoba me-redefinisi-kan manusia sebagai pribadi yang utuh. Pada sekitar awal hidup manusia, ilmuwan-ilmuwan, yang lebih pantas disebut dengan politikus, dengan enaknya menyebut pribadi baru dalam rupa embrio yang sedang bertumbuh hanya sebagai the clusters of cells (segerombolan sel-sel). Maka jika embrio dipakai untuk percobaan ilmiah juga tidak apa-apa, bukankah embrio itu hanya sekumpulan sel, sama dengan segmpal daging kecil? Bahkan janin yang sudah berbentuk manusia kecil ada yang menganggap bukan pribadi manusia, karena janin belum bisa berpikir dan sadar dirinya sendiri. Juga ada kelompok yang amat ekstrim yang menganggap bahwa bayi yang sudah lahirpun belum bisa dikategorikan sebagai pribadi manusia, karena dia tidak sadar akan jati dirinya sebagai manusia. Jadi perlindungan terhadap hak-hak asasinya sebagai manusia tidak bisa dijamin, karena mereka belum menjadi pribadi manusia yang lengkap.
Di sekitar akhir hidup manusiapun terjadi redefinisi ini. Manusia yang koma dipandang turun martabatnya sederajat dengan tetumbuhan (vegetasi). Maka potong saja hidupnya, toh dia bukan manusia lagi, karena dia sudah tidak sadar akan dirinya sendiri, maka lebih baik dia mati saja. Hentikan makanannya dan alat bantu hidupnya, biar dia mati saja.
Inilah kengerian redefinisi sesama kita manusia. Benar, kita merasa ngeri, tapi dalam skala besar maupun kecil, kita sedang ikut ambil bagian dalam tindakan redefinisi ini.
Siapakah sesamaku manusia?
Ternyata ribuan tahun yang lalu, pertanyaan diskriminatif ini sudah dilontarkan. Seorang ahli Taurat menanyakan pada Yesus tentang apa yang harus dilakukan untuk memperoleh hidup kekal. Sampailah pembiacaraan mereka pada perintah kasih, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Luk 10:27)
Jawaban Yesus pada si Farisi itu singkat dan amat jelas. Namun, kemudian untuk berlagak kritis si Farisi melontarkan pertanyaan aneh pada Yesus, “Jika demikian, siapakah sesamaku manusia?” (Luk 10:29). Ini pertanyaan lancang! Sudah jelas bahwa semua orang tanpa kecuali dan tanpa kategori adalah sesamaku manusia. Akan tetapi dengan sok pintar si Farisi ini mau membuat kategori-kategori siapa yang bisa dianggap sebagai sesama manusia, dan siapa yang bukan sesamanya manusia. Ini sama saja dengan membuat definisi-definisi seperti demikian. Definisi satu: orang-orang yang bisa dikategorikan sebagai sesamaku manusia, syaratnya harus: a, b, c. Definisi dua: orang-orang yang tidak bisa dikategorikan sebagai sesamaku manusia, syaratnya harus: a, b, c. Si Farisi ini seolah-olah berhak untuk menentukan mana yang sesamaku dan mana yang bukan sesamaku. Ia merasa berhak untuk meredefinisi sesamanya manusia.
Yesus dengan tegas menolak pemikiran ini. Ia tidak pernah mau menjawab pertanyaan si Farisi yang sangat bernada diskriminasi ini. Untuk menanggapi sikap diskriminatif ini Yesus malah bercerita.
Ada seorang yang dirampok habis-habisan dan dihajar sampai hampir mati. Orang ini tergeletak di jalanan kasar dan sangat membutuhkan pertolongan. Seorang imam dan orang Levi lewat. Mereka lebih mementingkan tugas-tugas mereka di Bait Suci daripada menolong orang sekarat ini. Dan lagi menurut hukum Yahudi, orang yang memegang mayat akan menjadi najis oleh mayat itu. Si korban rampok itu tampak seperti mayat, dan lebih baik diandaikan mati dan tidak usah didekati untuk menghindari kenajisan (bdk. Im 21:11, Bil 6:6). Nanti kalau si mati itu disentuh maka mereka harus menjalani lagi upacara pembersihan yang makan waktu tujuh hari lamanya (Bil 19:11). Mereka mengkategorikan sesamanya antara sehat dan sakit, mati dan hidup. Demi alasan hukum mereka memutuskan untuk tidak menyelamatkan orang, malah mengkategorikan orang begitu saja sebagai mayat.
Si korban semakin gawat keadaannya. Lewatlah orang Samaria. Si Samaria ini orang yang didefinisikan oleh kaum Yahudi sebagai ras buangan dan bukan termasuk bangsa Yahudi lagi, karena darah nenek moyang mereka tercampur dengan darah kaum kafir. Kaum Yahudi tidak boleh bergaul dengan orang Samaria. Lagi-lagi manusia dikotak-kotakkan. Namun si Samaria mengacuhkan hukum itu dan menolong si Yahudi yang sekarat itu. Bahkan si Samaria ini sampai memberikan perawatan ekstra sampai si Yahudi itu benar-benar sembuh. Si Samaria tidak mau mengkategorikan sesama berdasarkan ras-suku atau sehat-sakit, dia bahkan menentang hukum.
Yesus kemudian bertanya pada si pandir Farisi, “Siapakah yang menjadi sesama manusia bagi orang yang dirampok itu?” Tentu saja, tidak bisa lain si Farisi menjawab, “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” (Luk 10:36)
Inilah jawaban yang dikeluarkan oleh Yesus melalui mulut si Farisi.
Pertanyaan yang membuat kategori-kategori “siapakah sesamaku manusia” sudah diporak-porandakan oleh Yesus. Pertanyaan itu tidak boleh ada lagi! Dengan bertanya “siapakah sesamaku?” si Farisi menjadikan sesamanya sebagai obyek yang bisa dikategorikan ini dan itu. Yesus mengubah pola pikir yang salah ini. Yesus membalik bertanya: “Siapa yang menjadi sesama bagi orang lain? Itulah sesama manusia.” Jadi Yesus beranjak dari pertanyaan, “Orang macam apakah yang harus aku kasihi?” menjadi “Sudahkah kamu mengasihi orang lain, macam apapun dia itu?”
Kemudian, diakhir Injil, Yesus memerintah si Farisi itu dengan tegas, “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”
Belajar dari si Samaria
Terlalu banyak sudah kategori-kategori yang kita buat untuk meredefinisikan sesama kita manusia menurut kehendak kita. Kita pakai kategori suku, ras, agama, keadaan sosial ekonomi, kesehatan, kasta, rupa dan bentuk, prestasi akademis, dan lain sebagainya. Semua kategori ini seolah bergerak dan menyetir kita dengan liar. Sehingga seringkali setiap langkah kita, kita lakukan dengan perhitungan ini dan itu atas dasar kategori ini dan itu. Dengan demikian kita meredefinisi apa arti menjadi pribadi manusia.
Bukankah semua manusia itu semartabat di hadapan Sang Pencipta? Adakah kategori-kategori itu di hadapan Allah? Adakah manusia kelas satu, dua dan tiga? Tidak ada. Allah tidak pernah membuat definisi ini dan itu tentang manusia satu dan yang lain. Semua ciptaanNya yang unik adanya itu dipandangNya sebagai “amat baik adanya.” (Kej 1:31) Semuanya dikasihi Allah. Rasul Paulus memahami benar hal ini, maka dia mengajarkan pada umat di Kolose, “Tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.” (Kol 3:11) Dalam Kristus tidak ada lagi kategori-kategori!
Allah tidak membuat definisi tentang manusia, kitalah yang dengan congkak membuat banyak definisi tentang sesama kita. Lebih parahnya lagi, definisi-definisi itu mengkotak-kotakkan sesama kita. Definisi membatasi pengertian tentang sesama kita. Bahkan definisi itu sering menghina sesama kita dengan menurunkan martabatnya.
Banyak hal yang bisa diperlajari dari si Samaria yang murah hati itu.
Meskipun tampaknya si Samaria ini tokoh fiktif, tapi dia inilah tokoh ideal. Dialah yang mengajarkan apa artinya sesungguhnya sesama manusia itu, yakni ‘menjadi sesama bagi orang lain.’ “Hanya seorang sesama yang bisa menjadi sesama bagi orang lain,” begitu kata St. Agustinus. Artinya hanya kalau kita mau menjadi sesama bagi orang lain, maka kita akan paham bahwa orang lain itu adalah sungguh sesama kita manusia.
Kita harus menjalin relasi dengan sesama kita manusia antar subyek agar dapat memahami bahwa aku dan sesamaku adalah sederajat. Dan kategori apapun yang aku gunakan untuk mendefinisikan sesamaku manusia malah menjadi kembali berbelok ke arahku dan menyempitkan makna diriku sendiri sebagai pribadi manusia.
Untuk membuat definisi tentang apapun kita harus mengambil jarak dan mengobyekkan sesuatu. Jika sesuatu itu adalah sesama kita, maka sesama itupun menjadi obyek kita. Hasilnya adalah suatu rumusan tentang sesama kita manusia yang amat sangat sempit. Sedangkan sesama kita manusia itu bukan benda dan bukan obyek!
Namun dengan berelasi dengan sesama kita, kita menjadi sesama bagi dia atau mereka. Dari relasi setara antar subyek ini, kita mendapatkan pengertian yang jauh lebih kaya dan dalam tentang sesama kita. Juga kita akhirnya bisa menghargainya sebagai pribadi manusia yang diciptakan dan dicintai Allah, sama seperti diri kita.
Inilah sebenarnya ungkapan sejati perintah cinta yang kedua, yakni cinta pada sesama. Di sini pengetahuan manusia yang cenderung mengkotak-kotakkan dan membuat definisi baru tentang sesamanya sesuai dengan seleranya menjadi terhenti, dan hanya cinta yang tinggal (bdk. 1 Kor 13:8.13). Dan di sinilah Sabda Kristus bergema dengan baru: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25:40)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment