"A prayerful life, lived in community,and generously serving others has remained a constant Carmelite ideal."
Thursday, December 11, 2008
Menanti?
Dunia sudah dipenuhi dengan segala sesuatu yang serba cepat. Alat transportasi cepat. Alat komunikasi cepat. Mode pakaian yang cepat berubah. Makanan cepat saji, bahkan di McDonald jika pelayanan lebih dari hitungan satu menit, pelanggan akan mendapat "ganti rugi" berupa tambahan menu, dan pekerja mendapat point kurang. Ada juga program diet cepat kurus. Bahkan sampai hubungan cinta yang cepat: cepat kawin lalu cepat cerai. Semua serba cepat, cepat, cepat. Time is money, don't wasting time!
Dalam dunia semacam ini menanti-nanti bukanlah suatu hal yang dapat ditolerir. Menanti bukanlah hal yang menyenangkan, bahkan seringkali terasa menyebalkan. Apalagi orang yang kita nanti-nanti tidak kunjung datang. Perasaan sebal, sedih, marah, rindu, dan gelisah bisa bercampur aduk tidak karuan.
Namun Allah berpikir lain, Ia mengajar kita untuk menantikan janjiNya. Ia mengajar Israel untuk menantikan terealisasinya suatu tanah yang dijanjikan selama 40 tahun. Ia mengajar Israel juga menantikan sang Mesias selama berabad-abad. Ia mengajar kita juga untuk menantikan kedatanganNya yang kedua lebih dari dua puluh abad.
Kita sering menjadi tak sabar. Kita mau mengatur Allah, Sang Penguasa Waktu itu, agar Ia datang lebih cepat. Maka banyak pengkotbah yang mulai tergoda untuk menghitung-hitung hari dan tahun kedatanganNya. Mereka meramalkan waktu yang mereka sendiri tidak ketahui, dan menakut-nakuti pengikutnya. Kaum ekstrimis mempercepat rencana Allah dengan melakukan bunuh diri massal, yakin bahwa dengan demikian mereka sendiri yang menyongsong sang mesias. Kaum teroris lebih parah lagi: mereka dengan sengaja membuat kekacaubalauan, chaos, dengan harapan bahwa jika dunia kacau dan hacur berantakan dengan teror-teror sadis mereka, maka mesias akan didorong untuk semakin cepat datang. Mesias didorong oleh terorisme!
Manusia tidak sabar dan malah suka mengambil jalan pintas. Jalan kesabaran terlalu lama, berbelit dan berliku, lebih baik mengambil jalan pintas. Jalan ini mengandaikan bahwa akulah yang mengatur hidupku, hanya akulah yang menentukan arah hidupku.
Dalam hidup rohani, yang juga amat berpengaruh pada hidup keseharian kita, mentalitas instan ini tidak berlaku dan tidak ada jalan pintas menuju ke persatuan dengan Allah, karena “sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan” (Mat 7:14). Untuk menjelaskan tentang kesabaran dalam hidup doa, Teresa menggunakan baik kata “sabar” maupun kata “menyimak dengan sepenuh hati” (attentiveness). Kesabaran dipakainya ketika ia menasihati orang agar tetap teguh berjuang meskipun berkali-kali jatuh dalam kekurangan maupun dosa, karena Allah bisa menarik sesuatu yang baik daripadanya, misal: untuk memberi pelajaran pada kita. Kesabaran juga merupakan keutamaan yang diperlukan untuk menanti-nantikan Allah. Pemazmur berkata, “Aku menanti-nantikan TUHAN, jiwaku menanti-nanti, dan aku mengharapkan firman-Nya. Jiwaku mengharapkan Tuhan lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi, lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi” (Mzm 130:5-6). Menantikan Allah adalah hal yang penting, karena kita seringkali mengira bahwa kita yang menyetir semua arah hidup kita.
Bukan kita, namun Allahlah sebenarnya yang menyelenggarakan hidup kita. Kita tidak tahu dengan pasti apa yang akan Tuhan lakukan berikutnya. Kita mesti sabar menanti kapan Allah menghendaki kita untuk berjalan maju, berhenti sejenak, mengalami pemurnian, atau untuk berlari maju dengan cepat untuk menyongsong kedatanganNya dalam hidup kita pribadi ataupun kedatanganNya untuk memulihkan segala sesuatu seperti dan bahkan lebih baik dari semula.
Amin, datanglah Tuhan Yesus! (Why 22:20)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Hello, mis mejores deseos para tí...God bless you.
Post a Comment