Di dalam syahadat (credo) kita tertulis:
Aku percaya
akan….satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang tunggal. Ia lahir dari Bapa
sebelum segala abad (Filium Dei unigenitum, et ex Patre natum, ante
omnia saecula)… Ia dilahirkan, bukan dijadikan, sehakikat dengan
Bapa.
Inilah
pernyataan mendasar iman Kristiani yang menjadi olok-olokan orang yang tak
paham pernyataan iman ini dengan bertanya, “Jika
Yesus adalah Anak Allah, siapa bidannya?” (Siapa yang membantu
melahirkanNya dari Allah?). Seolah orang mau mengolok demikian: betapa bodohnya
kalian orang Kristen mengimani Allah yang sedemikian menggelikan.
Saya mau
mencoba menjawabi ejekan ini dengan mendasarkan diri pada pemikiran sang
mistikus dan intelektual besar St. Thomas Aquinas. Mengapa
saya memilih dia? Karena selain seorang pendoa besar, dia adalah seorang
intelektual yang terkenal dengan common
sense-nya. Jadi, dia dapat diakses orang yang dengan tenang menggunakan
akal budi dan common sense-nya. Jika
kedua hal ini tak digunakan, maka yang lahir hanyalah olokan. Olokan lahir dari
kedangkalan berpikir. Sejalan dengan Aquinas, saya tidak mengklaim bahwa saya
paham sepenuh-penuhnya misteri Allah ini, namun setidaknya saya dengan bantuan
Aquinas mencoba memahaminya dengan akal budi yang adalah anugerah Allah sendiri
kepada kita manusia.
Pengetahuan akan
Allah
Sebelum membahas tentang misteri Allah, kita
mesti pertama-tama mengakui dengan rendah hati bahwa kita tidak pernah bisa
sepenuh-penuhnya memahami Allah. Di sinilah kita dapat memahami dengan lebih
dalam seruan bahwa Allah Mahabesar.
Di dalam mengawali penjelasannya tentang misteri Allah, Aquinas mengakui
terlebih dahulu dengan rendah hati bahwa dengan akal budinya manusia tidak
pernah bisa mengetahui sepenuh-penuhnya essensi Allah. Ia menyatakan ini,
karena ia tidak mau mengklaim bahwa ia memahami Allah sepenuh-penuhnya. Akal
budi manusia hanya bisa mendekati Allah. Allah tidak dapat dikuasai oleh pemahaman
kita, sehebat apapun itu, Allah itu Mahakuasa. Jadi common sense-nya Allah Mahabesar dan Mahakuasa adalah bahwa Ia
tidak dapat dikuasai oleh akal budi kita, secerdas apapun akal budi itu.
Akan tetapi, di sisi lain kita mengetahui bahwa
Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang. Ungkapan dari sifat Allah ini adalah
tindakanNya untuk membiarkan diri untuk kita dekati, dan malah mau serta
menyediakan diri untuk kita dekati. Aquinas memuji Allah yang demikian ini dan dengan
penuh syukur ia berkata sambil mengutip Mzm 36:9, “Di dalam terangMu, kami
melihat terang.” Artinya, hanya dengan bantuan rahmatNya (terang), kita
bisa memahami Dia (Terang) dengan lebih mendalam. Lalu apa yang dilakukan Allah
supaya kita memahami dia dengan lebih mendalam? Ia mewahyukan diriNya. Wahyu ini salah satunya tertuang dalam SabdaNya
yang tertulis dalam Kitab Suci.
Lewat wahyu ini, kita dapat lebih
dalam memahami Allah, tetapi meskipun demikian, Allah adalah Allah yang tetap
tak terjangkau oleh manusia. Ini bukan karena pewahyuanNya itu terbatas, tapi
karena pikiran kita yang terbatas dalam
memahami wahyu itu. Wahyu tertulis
itu terbatas sejauh bahasa manusia sanggup mencerna dan menuturkan misteri Allah. Untuk
memahami dan menuturkan misteri ini dalam bahasa, manusia menggunakan: analogi, metafora, perumpamaan,
puisi dan sebagainya. Tentang hal ini Aquinas memberi analogi yang
tajam: seperti kelelawar mencoba
memandang matahari.
Jadi sikap yang bijaksana di hadapan misteri
ilahi ini adalah menjelaskannya sejauh kita mampu, lalu selebihnya kita hanya perlu
berlutut, sujud dalam doa yang mendalam dan menyerahkan diri untuk masuk dalam misteri arus cintaNya,
di sanalah kita akan mengertiNya dalam ketidakmengertian kita. Only a lover knows best his beloved.
Analogi dalam memahami
Allah
Mari kita kembali ke tema awal: Credo in….Filium Dei unigenitum, et ex Patre natum, ante
omnia saecula. Dari kalimat singkat padat kita kita mencoba
menjawabi terlebih dahulu pertanyaan: Who?
What? How? When?
Siapa yang sedang kita bicarakan (who): Anak Allah yang tunggal (Filius Dei unigenitum). Apa yang sedang
kita bicarakan (what):
diperanakkanNya (Sonship). Bagaimana
itu terjadi (how): dilahirkan dari Bapa (ex
Patre natum). Kapan hal itu terjadi (when):
di dalam kekekalan, sebelum waktu ada, sebelum segala abad (ante omnia saecula). Jadi kalimat pendek
itu mau membahas tentang: Anak Allah yang
satu-satunya, yang dilahirkan dari Allah, bukan di dalam sejarah, tapi DI LUAR WAKTU, dalam KEABADIAN.
Sebelum kita masuk dalam
penjelasan Aquinas, kita harus sadar penuh bahwa kita sedang memakai analogi di
sini, yakni: Anak, Bapa, melahirkan.
Inilah bahasa manusia yang dipakai untuk menjelaskan misteri Allah. Kalau tidak
memakai bahasa manusia, mau pakai bahasa apa lagi, bahasa Mars? Sekali lagi: Anak, Bapa dan melahirkan adalah analogi dan tidak bisa dikembalikan begitu saja ke
makna keseharian yang sering kita pakai, karena akan menjadi non sense. Jika demikian, pertanyaan-pertanyaan
make sense akan muncul darinya: Kok
Bapa (lelaki) melahirkan, kan seharusnya ibu? Kalau ada anak dan bapa, ibunya siapa
dan dimana?
Dari mana Aquinas memperoleh istilah-istilah
ini? Rupanya ia mengontemplasikan Injil, terutama Yohanes 1:1-18, yang dibacakan pada
Misa Natal siang. Aquinas ingin menjelaskan dengan common sense, mengapa Yohanes memakai
dua istilah yang nampaknya overlapping
dari Sabda (Word) ke Anak (Son). Ia menjelaskan Sang Sabda dengan processio dan Anak dengan generatio.
Terminologi anak, Bapa, melahirkan
dipakai dalam syahadat dan dalam tulisan Aquinas untuk menggambarkan: kesehakekatan
di dalam Allah. Untuk menjelaskan hal ini, ia memakai analogi processio dan generatio. Ingat, letak diskusi kita ini adalah di dalam kekekalan
(ante omnia saecula), kita tidak sedang
membicarakan Yesus historis, tapi Anak Allah dalam keabadian, sebelum inkarnasi
(ada komparasi cukup bagus tentang Yesus sesudah inkarnasi dalam FB).
Menurut Aquinas, Kristus yang sehakekat dengan
Allah itu dapat dianalogikan dengan penggabungan antara dua hal yang making sense.
Pertama, Kristus “muncul” dari Allah (processio) bukan
seperti misalnya panas yang muncul dari seseorang yang menyelimuti orang lain,
karena panas itu keluar dan terpisah darinya. Kristus itu dalam kekekalan tidak
terpisah dari Allah. Bagi Aquias, Kristus itu seperti kebijaksanaan yang memancar dari akal budi si bijak, ia
sekaligus berbeda, tapi ia tidak terpisah dan tetap tinggal di dalam dan
menyatu dengan kedalaman pemikiran si bijak (bdk. ST I, q. 27, art. 1). Inilah Sang Sabda. Barangkali
Aquinas mau menjelaskan apa makna ayat yang tertulis dalam Injil: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.... Tidak seorangpun yang pernah melihat
Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang
ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya” (Yoh 1: 1. 18).
Hal kedua
yang dipakai oleh Aquinas untuk menunjukkan kesehakikatan Kristus dengan Allah
adalah relasi antara yang melahirkan dan yang dilahirkan: et ex Patre natum. Untuk itu Aquinas menggunakan analogi common sense: Bapa dan Anak. Di sini kita tidak
perlu mempersoalkan tentang seorang ayah melahirkan anak, ataupun siapa yang lebih
hebat antara yang melahirkan atau yang dilahirkan, sekali lagi ini semua adalah
analogi. Yang mau dijelaskan oleh Aquinas dengan analoginya adalah suatu proses
dimana suatu mahluk hidup dilahirkan dengan
hakekat yang sama dengan yang melahirkan. Sesederhana ini!!! Misalnya,
kucing melahirkan kucing, gajah melahirkan gajah, T-Rex melahirkan T-Rex,
manusia melahirkan manusia. Tidak mungkin manusia melahirkan T-Rex yang tidak
sehakekat dengannya.
Syahadat
menulis: Ia dilahirkan, bukan dijadikan, sehakikat
dengan Bapa. Maksudnya
adalah Kristus dilahirkan, bukan diciptakan
(dijadikan), karena
Pencipta berbeda hakikat dengan ciptaan, pencipta hakekatnya lebih tinggi dan
luhur dari ciptaannya. Misalnya: patung dan pematung, pematung adalah manusia
yang punya daya seni, patung hanyalah sebuah benda. Oleh karena itu, untuk menekankan kesehakekatan Allah dan Kristus, syahadat
melanjutkan: Allah dari Allah, Terang
dari Terang, Allah benar dari Allah benar.
Kembali ke
olokan awal: siapa bidannya? Olokan
ini meleset jauh sekali dari apa yang diajarkan dan diimani oleh iman
Kristiani. Olokan ini hanya memamerkan kedangkalan berpikir. Hal ini kira-kira sama
seperti ketika kita sedang asyik berbincang-bincang dan menganalogikan relasi percintaan pria dan wanita seperti
kupu-kupu yang tertarik pada bunga, tiba-tiba ada seorang menyeletuk dengan
marah-marah, “Dimana kita pernah menemukan seorang laki-laki bersayap? Dimana?!! Bodoh kalian!!”
Ehhh...kebetulan ada Homer Simpson yang ikut perbincangan itu, maka ia yang blo’on itupun menjawab, “Duuuhhh!”
4 comments:
thanks a lot
analogi yang membingungkan
Setuju.
Tuhan dilogikakan sesuai dengan kebutuhannya.
Perlu kerendahan hati & pikiran yg terbuka utk memahami analogi tsb. Tuhan Yesus memberkati.
Post a Comment