Friday, February 15, 2008

Mencermati Gejala "Useful Idiots"


Kompas, 18 November 2003

RICHARD Cohen, kolumnis ternama Washington Post, dalam artikel "Bush, The Believer" (22/7/2003), mengemukakan ide useful idiot. Pernyataan yang menggelikan ini digunakan untuk mengkritik kebijakan Bush dalam perang Irak yang banyak dipengaruhi kaum fundamentalis.

Sumber pernyataan ini dikutip dari Vladimir Lenin, tokoh besar komunisme di Soviet saat itu. Cohen mengatakan, frase yang diucapkan Lenin itu menunjuk pada simpatisan idealisme komunis yang mudah ditipu dan yang menelan begitu saja seluruh ajaran partai. Mereka percaya apa yang dikatakan partai, meski apa yang diajarkan partai hampir seluruhnya bohong.

Dalam ulasan Elizabeth Bumiller yang dimuat New York Times (26/10/2003), kembali dibahas pengaruh yang besar, bahkan disebut unusual, dari kaum fundamentalis dalam kebijakan yang diambil Gedung Putih. Sampai-sampai dalam salah satu surat kabar terlaris di Amerika Serikat (AS) itu Gedung Putih dijuluki "one of the most religious White Houses in the American History". Ternyata, seperti raja-raja zaman Majapahit, Bush memiliki penasihat rohani di sekelilingnya, yang amat mempengaruhi keputusan politisnya. Jangan salah sangka, kaum fundamentalis ini berasal dari beberapa agama tertentu.

Tampaknya hal ini menggelikan dan kita segera menuduh serta menunjuk orang lain sebagai gullible dan idiot. Tetapi, kenyataannya justru bisa berbalik menuju kita sendiri sebagai bangsa Indonesia. Bila ucapan Cohen disimak dengan baik, kita bisa belajar banyak dari situ. Memang partai komunis sudah tidak ada di Indonesia, dan secara legal-politis dilarang keras ada di Indonesia. Tetapi, praktik yang dilakukan Lenin masih hidup, terselubung dengan jargon politis yang penuh retorika indah. Di satu sisi ada yang menipu, di sisi lain ada yang mau atau mudah ditipu.

Menipu dengan kepercayaan
Satu hal yang diolah Leninisme adalah "kepercayaan massa". Tentunya kepercayaan pada hal-hal yang mendangkal, pada agenda politik partai. Bisa saja kepercayaan massa itu terungkap dalam suatu undang-undang atau peraturan pemerintah yang terkesan indah dan religius. Namun, jika dicermati dengan sungguh-sungguh dan kritis, di dalam undang-undang atau peraturan pemerintah itu tersimpan agenda politis yang, entah disengaja atau tidak, bisa menciptakan insan-insan yang tidak cerdas, kalau boleh dikatakan idiot. Mendidik insan muda menjadi "religius" dengan menutup kemungkinan untuk memahami orang lain yang berbeda dengan dirinya dan keyakinannya akan membuat orang menjadi apa yang disebut fach-idioten (ahli yang bodoh, melulu tahu satu hal saja), dan akhirnya bisa menjadi fanatik dengan kepercayaan yang dianutnya.

Insan yang fanatik dan idiot dengan mudah akan menjadi insan yang useful, yakni manusia yang mudah digunakan. Insan-insan yang demikian hanya butuh khotbah atau jargon tertentu, yang dipoles dengan kutipan kitab suci yang "menyentuh" kepercayaan dangkal mereka, untuk menjadikan mereka pembela agenda politik orang-orang yang cerdas namun culas. Tanpa paham dengan sungguh, dan tanpa mengkritisi jargon politis si cerdas-culas, para useful idiots siap membela sampai mati agenda politis yang dikemas dengan bahasa religius. Lebih parah lagi, para useful idiots tidak bisa lagi membedakan mana pernyataan yang secara logika benar dan mana pernyataan yang secara logis sudah amat berantakan.

Bangsa kita telah berjanji dalam salah satu elemen dari konstitusinya untuk "mencerdaskan kehidupan bangsa". Namun kenyataannya, di sana-sini banyak terjadi sikap-sikap yang tidak "mencerdaskan kehidupan bangsa" dari orang- orang cerdas-culas yang menggunakan para useful idiots dengan modal jargon kepercayaan tadi. Yang mengherankan, banyak orang yang useful dan tanpa pikir panjang mau digunakan untuk perpanjangan tangan agenda politik tertentu. Padahal, jika pengalaman dan sejarah bangsa dicermati sungguh, sudah banyak diketahui bahwa akhirnya yang diuntungkan adalah kaum cerdas-culas itu, bukan para useful idiots. Mereka hanya digunakan untuk memperoleh dukungan massa dan dengan demikian kaum cerdas-culas meraih kekuatan politisnya. Sebenarnya, Leninisme masih hidup subur makmur bertopengkan berbagai macam kesalehan palsu. Banyak penipu, namun sungguh amat disayangkan, banyak yang mau ditipu atas nama kepercayaan yang dangkal.

Berani dan kritis
Kebanyakan para useful idiots adalah orang-orang yang kurang pengetahuan atau yang karena berbagai sebab, pengetahuannya dikurangi sehingga mudah menjadi "percaya". Orang yang kurang pengetahuan biasanya karena kurangnya sarana dan niat untuk mencari bahan, mendalami bahan, dan kritis terhadap bahan. Sikap malas, termasuk malas memperluas pengetahuan dan malas keluar dari diri dan memahami sesuatu yang baru, membuat orang menjadi kurang pengetahuan.

Orang-orang demikian adalah mereka yang amat cepat merasa puas dengan dirinya tanpa mau menjadi lebih maju dengan bekerja keras. Bila pengetahuannya dikurangi adalah orang-orang yang disituasikan dalam keadaan yang tertutup sehingga orang-orang itu tidak boleh cerdas, dan proses pembodohan berjalan perlahan, tetapi pasti.

Salah satu hal yang bisa mendobrak "kuasa kegelapan" ini adalah sikap berani dan kritis. Menurut Aristoteles, keberanian (fortitudo/courage) adalah suatu virtus, keutamaan. Dalam Nicomachean Ethics, dengan mengutip Socrates, Aristoteles mengatakan, dalam keutamaan keberanian ini ada knowledge, suatu sikap yang penuh keberhati-hatian dalam berpikir dan memutuskan sesuatu untuk bertindak sehingga tindakan yang dihasilkan adalah tindakan yang tepat dan bijaksana.

Gejala penyakit useful idiots ini mulai merebak di tanah air tercinta. Maka, sebelum keadaan ini menjadi semakin parah di bumi pertiwi tercinta, gejala useful idiots ini patut kita sadari, kita cermati, dan kita tanggulangi dengan sungguh.

Benny Phang
Pemerhati Masalah Etika, CUA- Washington DC