Wednesday, December 28, 2016

Yesus Kristus, Anak Allah




Di dalam syahadat (credo) kita tertulis:
Aku percaya akan….satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang tunggal. Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad (Filium Dei unigenitum, et ex Patre natum, ante omnia saecula)… Ia dilahirkan, bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa.

Inilah pernyataan mendasar iman Kristiani yang menjadi olok-olokan orang yang tak paham pernyataan iman ini dengan bertanya, “Jika Yesus adalah Anak Allah, siapa bidannya?” (Siapa yang membantu melahirkanNya dari Allah?). Seolah orang mau mengolok demikian: betapa bodohnya kalian orang Kristen mengimani Allah yang sedemikian menggelikan.

Saya mau mencoba menjawabi ejekan ini dengan mendasarkan diri pada pemikiran sang mistikus dan intelektual besar St. Thomas Aquinas. Mengapa saya memilih dia? Karena selain seorang pendoa besar, dia adalah seorang intelektual yang terkenal dengan common sense-nya. Jadi, dia dapat diakses orang yang dengan tenang menggunakan akal budi dan common sense-nya. Jika kedua hal ini tak digunakan, maka yang lahir hanyalah olokan. Olokan lahir dari kedangkalan berpikir. Sejalan dengan Aquinas, saya tidak mengklaim bahwa saya paham sepenuh-penuhnya misteri Allah ini, namun setidaknya saya dengan bantuan Aquinas mencoba memahaminya dengan akal budi yang adalah anugerah Allah sendiri kepada kita manusia.

Pengetahuan akan Allah
Sebelum membahas tentang misteri Allah, kita mesti pertama-tama mengakui dengan rendah hati bahwa kita tidak pernah bisa sepenuh-penuhnya memahami Allah. Di sinilah kita dapat memahami dengan lebih dalam seruan bahwa Allah Mahabesar. Di dalam mengawali penjelasannya tentang misteri Allah, Aquinas mengakui terlebih dahulu dengan rendah hati bahwa dengan akal budinya manusia tidak pernah bisa mengetahui sepenuh-penuhnya essensi Allah. Ia menyatakan ini, karena ia tidak mau mengklaim bahwa ia memahami Allah sepenuh-penuhnya. Akal budi manusia hanya bisa mendekati Allah. Allah tidak dapat dikuasai oleh pemahaman kita, sehebat apapun itu, Allah itu Mahakuasa. Jadi common sense-nya Allah Mahabesar dan Mahakuasa adalah bahwa Ia tidak dapat dikuasai oleh akal budi kita, secerdas apapun akal budi itu. 

Akan tetapi, di sisi lain kita mengetahui bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang. Ungkapan dari sifat Allah ini adalah tindakanNya untuk membiarkan diri untuk kita dekati, dan malah mau serta menyediakan diri untuk kita dekati. Aquinas memuji Allah yang demikian ini dan dengan penuh syukur ia berkata sambil mengutip Mzm 36:9, “Di dalam terangMu, kami melihat terang.” Artinya, hanya dengan bantuan rahmatNya (terang), kita bisa memahami Dia (Terang) dengan lebih mendalam. Lalu apa yang dilakukan Allah supaya kita memahami dia dengan lebih mendalam? Ia mewahyukan diriNya. Wahyu ini salah satunya tertuang dalam SabdaNya yang tertulis dalam Kitab Suci. 

Lewat wahyu ini, kita dapat lebih dalam memahami Allah, tetapi meskipun demikian, Allah adalah Allah yang tetap tak terjangkau oleh manusia. Ini bukan karena pewahyuanNya itu terbatas, tapi karena pikiran kita yang terbatas dalam memahami wahyu itu. Wahyu tertulis itu terbatas sejauh bahasa manusia sanggup mencerna dan menuturkan misteri Allah. Untuk memahami dan menuturkan misteri ini dalam bahasa, manusia menggunakan: analogi, metafora, perumpamaan, puisi dan sebagainya. Tentang hal ini Aquinas memberi analogi yang tajam: seperti kelelawar mencoba memandang matahari.
 
Jadi sikap yang bijaksana di hadapan misteri ilahi ini adalah menjelaskannya sejauh kita mampu, lalu selebihnya kita hanya perlu berlutut, sujud dalam doa yang mendalam dan menyerahkan diri untuk masuk dalam misteri arus cintaNya, di sanalah kita akan mengertiNya dalam ketidakmengertian kita. Only a lover knows best his beloved.

Analogi dalam memahami Allah
Mari kita kembali ke tema awal: Credo in….Filium Dei unigenitum, et ex Patre natum, ante omnia saecula. Dari kalimat singkat padat kita kita mencoba menjawabi terlebih dahulu pertanyaan: Who? What? How? When?

Siapa yang sedang kita bicarakan (who): Anak Allah yang tunggal (Filius Dei unigenitum). Apa yang sedang kita bicarakan (what): diperanakkanNya (Sonship). Bagaimana itu terjadi (how): dilahirkan dari Bapa (ex Patre natum). Kapan hal itu terjadi (when): di dalam kekekalan, sebelum waktu ada, sebelum segala abad (ante omnia saecula). Jadi kalimat pendek itu mau membahas tentang: Anak Allah yang satu-satunya, yang dilahirkan dari Allah, bukan di dalam sejarah, tapi DI LUAR WAKTU, dalam KEABADIAN.
 
Sebelum kita masuk dalam penjelasan Aquinas, kita harus sadar penuh bahwa kita sedang memakai analogi di sini, yakni: Anak, Bapa, melahirkan. Inilah bahasa manusia yang dipakai untuk menjelaskan misteri Allah. Kalau tidak memakai bahasa manusia, mau pakai bahasa apa lagi, bahasa Mars? Sekali lagi: Anak, Bapa dan melahirkan adalah analogi dan tidak bisa dikembalikan begitu saja ke makna keseharian yang sering kita pakai, karena akan menjadi non sense. Jika demikian, pertanyaan-pertanyaan make sense akan muncul darinya: Kok Bapa (lelaki) melahirkan, kan seharusnya ibu? Kalau ada anak dan bapa, ibunya siapa dan dimana? 

Dari mana Aquinas memperoleh istilah-istilah ini? Rupanya ia mengontemplasikan Injil, terutama Yohanes 1:1-18, yang dibacakan pada Misa Natal siang. Aquinas ingin menjelaskan dengan common sense, mengapa Yohanes memakai dua istilah yang nampaknya overlapping dari Sabda (Word) ke Anak (Son). Ia menjelaskan Sang Sabda dengan processio dan Anak dengan generatio.

Terminologi anak, Bapa, melahirkan dipakai dalam syahadat dan dalam tulisan Aquinas untuk menggambarkan: kesehakekatan di dalam Allah. Untuk menjelaskan hal ini, ia memakai analogi processio dan generatio. Ingat, letak diskusi kita ini adalah di dalam kekekalan (ante omnia saecula), kita tidak sedang membicarakan Yesus historis, tapi Anak Allah dalam keabadian, sebelum inkarnasi (ada komparasi cukup bagus tentang Yesus sesudah inkarnasi dalam FB). 

Menurut Aquinas, Kristus yang sehakekat dengan Allah itu dapat dianalogikan dengan penggabungan antara dua hal yang making sense

Pertama, Kristus “muncul” dari Allah (processio) bukan seperti misalnya panas yang muncul dari seseorang yang menyelimuti orang lain, karena panas itu keluar dan terpisah darinya. Kristus itu dalam kekekalan tidak terpisah dari Allah. Bagi Aquias, Kristus itu seperti kebijaksanaan yang memancar dari akal budi si bijak, ia sekaligus berbeda, tapi ia tidak terpisah dan tetap tinggal di dalam dan menyatu dengan kedalaman pemikiran si bijak (bdk. ST I, q. 27, art. 1). Inilah Sang Sabda. Barangkali Aquinas mau menjelaskan apa makna ayat yang tertulis dalam Injil: “Pada mulanya adalah Firman;  Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.... Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya” (Yoh 1: 1. 18).

Hal kedua yang dipakai oleh Aquinas untuk menunjukkan kesehakikatan Kristus dengan Allah adalah relasi antara yang melahirkan dan yang dilahirkan: et ex Patre natum. Untuk itu Aquinas menggunakan analogi common sense: Bapa dan Anak. Di sini kita tidak perlu mempersoalkan tentang seorang ayah melahirkan anak, ataupun siapa yang lebih hebat antara yang melahirkan atau yang dilahirkan, sekali lagi ini semua adalah analogi. Yang mau dijelaskan oleh Aquinas dengan analoginya adalah suatu proses dimana suatu mahluk hidup dilahirkan dengan hakekat yang sama dengan yang melahirkan. Sesederhana ini!!! Misalnya, kucing melahirkan kucing, gajah melahirkan gajah, T-Rex melahirkan T-Rex, manusia melahirkan manusia. Tidak mungkin manusia melahirkan T-Rex yang tidak sehakekat dengannya. 

Syahadat menulis: Ia dilahirkan, bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa. Maksudnya adalah Kristus dilahirkan, bukan diciptakan (dijadikan), karena Pencipta berbeda hakikat dengan ciptaan, pencipta hakekatnya lebih tinggi dan luhur dari ciptaannya. Misalnya: patung dan pematung, pematung adalah manusia yang punya daya seni, patung hanyalah sebuah benda. Oleh karena itu, untuk menekankan kesehakekatan Allah dan Kristus, syahadat melanjutkan: Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar.

Kembali ke olokan awal: siapa bidannya? Olokan ini meleset jauh sekali dari apa yang diajarkan dan diimani oleh iman Kristiani. Olokan ini hanya memamerkan kedangkalan berpikir. Hal ini kira-kira sama seperti ketika kita sedang asyik berbincang-bincang dan menganalogikan relasi percintaan pria dan wanita seperti kupu-kupu yang tertarik pada bunga, tiba-tiba ada seorang menyeletuk dengan marah-marah, “Dimana kita pernah menemukan seorang laki-laki bersayap? Dimana?!! Bodoh kalian!!” Ehhh...kebetulan ada Homer Simpson yang ikut perbincangan itu, maka ia yang blo’on itupun menjawab, “Duuuhhh!”