Saturday, February 16, 2008

Sebuah Renungan atas Kekuasaan



Kompas, 12 Mei 2004

FILM trilogi Lord of the Rings usai sudah. Namun, gema pesan-pesannya tetap terasa menusuk dalam. Gema pesan tentang kekuasaan, tentang suatu perjalanan penuh derita menghancurkan cincin yang menjanjikan kekuasaan luar biasa, yang bersumber dari dunia kejahatan.

Cincin kuasa yang menawan hati ini menggoda siapa pun yang memandangnya, pun sampai seorang putri suci-murni yang bernama Galadriel, sesepuh para Elves yang muda abadi, menjadi tergoda untuk memiliki cincin kuasa jahat itu.

Kuasa. Power. Siapa yang tidak tergoda untuk meraih dan memilikinya?

Negara adidaya semacam Amerika Serikat selalu tergoda untuk memiliki kuasa sebesar-besarnya. Mengapa ada ribuan tentara di Irak? Mengapa ada banyak pangkalan angkatan bersenjata Amerika di berbagai tempat strategis di dunia? Mengapa Washington menolak kerja sama PBB dalam mengatasi krisis Irak? Jawabannya adalah kuasa. Kuasa itu patut dan penting serta harus dipertahankan.

Bangsa tercinta Indonesia kita kini sedang mempersiapkan diri untuk pemilu presiden dan wakil presiden. Situasi politik menjadi menghangat kembali. Suatu hal yang wajar terjadi dalam negara demokratis yang sehat. Namun, di balik itu ada sesuatu yang sedang terjadi, yakni perebutan kekuasaan. Siapakah yang menang dan menjadi orang pertama dan kedua Indonesia? Siapa yang berhak mendapatkan pelat nomor RI-1 dan RI-2 di sedan hitamnya yang elegan? Siapa yang akan memegang kendali hidup bernegara? Semua pertanyaan ini bisa diringkas menjadi: Siapa yang akan berkuasa di Indonesia?

Banyak pihak, kelompok, dan pribadi yang sudah dan mulai bergerak. Saling melirik dan menggandeng ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah. Saling melamar. Ada yang jual mahal. Ada yang tenang, namun banyak juga yang bingung tak tahu arah dan membuat orang lain bingung pula. Semuanya disibukkan oleh mencari pasangan berkuasa untuk persiapan perebutan kuasa. Ini bukan berarti bahwa kuasa itu in se jahat atau tidak baik, tetapi kita perlu waspada akan kekuasaan itu.

Orlando Petterson, seorang profesor sosiologi di Harvard University, dalam bukunya, Slavery and Social Death (1982), menulis tentang the idiom of power, sebuah analisis sosiologis tentang kekuasaan sebagai suatu introduksi pembahasan tentang perbudakan (slavery). Menurutnya, kekuasaan selalu mengandaikan property atau barang milik. Tidak ada orang yang berkuasa tanpa memiliki sesuatu. Tidak mungkin. Berkuasa identik dengan semakin banyak memiliki sesuatu. Kuasa dan barang milik adalah bagaikan kembar identik. Petterson melanjutkan bahwa properti itu bagaikan a bundle of powers.

Properti juga memiliki dua aspek. Aspek pertama adalah "suatu jaringan relasi sosial yang membentuk suatu hubungan antarpribadi yang terbatas dan sudah ditetapkan". Aspek yang kedua adalah "obyek". Obyek di sini mencakup apa pun, termasuk sesama manusia. Di sini Petterson mengingatkan bahwa jika relasi sosial antarsesama manusia menjadi terbatas dan sesama manusia dianggap obyek, hal ini akan mengarah ke suatu perbudakan, yakni menjadikan orang lain sebagai budak yang didefinisikan sebagai socially dead person. Proses terjadinya socially dead person ini dapat digambarkan sebagai berikut: Dengan kuasa, manusia membuat dirinya teralienasi dengan orang lain, sesamanya, dan akhirnya hal ini akan menciptakan suatu social death relations atau social death persons. Kuasa bisa menuntun pada perbudakan sesama manusia.

Tentu saja dalam zaman modern ini tidak mungkinlah slavery itu tampak kasatmata, seperti yang terjadi pada zaman Romawi dengan struktur relasi dominus-captivus (tuan-tawanan; catatan kecil: Mesir kuno mengerti captivus sebagai living dead). Namun, tidaklah mustahil terbentuk suatu struktur dominus-captivus tak kasatmata. Di dunia Barat, struktur itu bisa bersembunyi di balik jargon "demokrasi". Dengan alasan demokrasi, negara yang adidaya dapat datang menyerbu negara kecil, mengalahkan dan menguasai. Apa bedanya pemaksaan demokrasi ini dengan kolonialisme Julius Caesar dengan semboyannya: veni, vidi, vici?

Di negara Indonesia tercinta, jargonnya adalah "kesejahteraan rakyat". Jargon indah yang sangat mewarnai rumusan sila-sila dari Pancasila dan UUD 45, dari awal hingga akhir. Jargon luhur ini mudah dieksploitasi. Janji berbunga-bunga menyejahterakan rakyat seakan-akan menjadi refrain kampanye presiden. Hal yang sangat luhur dan patut dipuji! Namun, ingat kisah bermakna Lord of the Rings. Sang putri yang suci luhur pun bisa tergoda untuk memiliki kekuasaan. Hal ini juga berlaku pada para calon penguasa, janji menyejahterakan rakyat karena dibuai oleh kekuasaan bisa menjadi berbalik menjadi jargon "disejahterakan rakyat" atau rakyat harus menjadi captivus, sementara penguasa harus tetap menjadi dominus.

Karena, jika seorang calon penguasa itu menang, pertanyaan kritisnya: menang dari siapa dan menang untuk siapa? Kuasa itu baik, namun sangat-sangat riskan untuk menjadi tempat manusia tergelincir masuk dalam jurang keangkuhan. Sedangkan keangkuhan adalah awal kejatuhan sang penguasa itu. Inilah circulus vitiosus (lingkaran setan) yang dibentuk oleh kekuasaan.

Untuk mematahkan circulus vitiosus ini, struktur dominus-captivus perlu "direvolusi" menjadi minister-dominus (pelayan-tuan). Penguasa mesti tampil sebagai pemimpin yang melayani, dan tuannya adalah rakyat. Rakyat bukannya socially death persons, tetapi tuan. Sebenarnya hal ini bukan ide baru, namun banyak penguasa yang menjadi lupa, dibuai oleh privilege kekuasaannya.

Pemimpin yang melayani, atau ministerial leadership, adalah suatu bentuk ideal kepemimpinan. Para pemimpin dunia yang mengukir sejarah selalu tampil sebagai pemimpin yang melayani. Martin Luther King, Gandhi, dan Dalai Lama tampil sebagai pribadi yang kuat, namun penuh pelayanan bagi rakyat. Para Paus gereja Katolik menyebut diri sebagai servus servorum Dei (pelayan bagi para pelayan Allah). Dalam wacana tugas kepresidenan, merenungkan makna kata "menteri" juga membantu kita menangkap dengan mudah makna ministerial leadership. Menteri adalah jabatan tinggi dalam suatu pemerintahan. Kata "menteri" dalam bahasa Inggris disebut dengan minister. Minister berasal dari bahasa Latin, yang berarti pelayan. Jabatan menteri adalah jabatan sebagai "pelayan". Presiden adalah kepala para menteri. Jadi, presiden adalah kepala pelayan. Indah bukan? Siapa yang menjadi tuan? Rakyat.

Di tengah dinamika demokrasi mencari presiden dan wakil presiden ini, mari kita membuat agar wacana minister-dominus dan ministerial leadership menjadi wacana publik dan juga menjadi wacana bagi para calon pemimpin bangsa.

Benny Phang
Pemerhati Masalah Etika CUA-Washington, DC