Wednesday, February 13, 2019

Percakapan penuh haru antara Karna dan Kunti



Karna:
Di tepi pantai suci Jahnavi kupanjatkan doa-doaku
pada matahari senja. 
Karna namaku,
anak kusir Adhirath, dan Radha ibuku.
Itulah diriku.
Puan Putri, siapakah Anda?
Kunti:
Nak, sejak fajar awal hidupmu
akulah yang mengenalkanmu pada dunia luas.
Itulah diriku, dan hari ini kusisihkan semua rasa maluku,
tuk mengatakan padamu, siapakah diriku.
Karna:
Puan Putri yang terhormat, cahaya mata sendu Puan
meluluhkan hatiku, bagai cahya mentari meluluhkan salju di gunung.
Suara Puan menembus pendengaranku,
bak sepenggal suara dari masa kelahiran nan lalu
dan itu membangkitkan rasa pedih nan aneh.
Katakanlah padaku, dengan rantai misteri apa
kelahiranku terkait denganmu, hai wanita asing?
Kunti:
            Oh, sabarlah Nak, tunggulah sejenak.
Biarlah dewa mentari masuk ke peraduannya,
dan biarlah gulita senja menebal melingkupi kita.
Kini, biarlah kukatakan padamu, wahai satria.
Aku Kunti.
Karna:
            Engkau Kunti!  Ibu Arjuna!
Kunti:
Benar, akulah Ibu Arjuna!
Namun, Nak, janganlah membenciku karna itu.
Aku masih terkenang
pada hari pertandingan itu, 
kala engkau sebagai seorang pemuda,
perlahan memasuki arena di Hastinapura
bak mentari pagi terbit menyentuh kaki langit timur,
masih berhiaskan bebintangan!
Dari semua wanita yang menyaksikan dari balik layar,
adalah dia, karena untung, tak mampu berbicara,
merasakan siksaan dalam dadanya
gegigitan yang merindukan kasih,
bagai ribuan taring ular betina?
Siapa yang dengan matanya 
melingkupi lengan-lenganmu dengan ciuman berkat?
Dialah Ibu Arjuna! 
Waktu Kripa seraya tersenyum tampil ke depan
tuk memintamu mengumumkan nama ayahmu, dan berkata,
“Dia yang tak dilahirkan sebagai keluarga kerajaan,
tak berhak sama sekali tuk menantang Arjuna,”
            dan dirimu, memerah-padam karna malu, tak sanggup berkata-kata,
            wajahmu tertunduk, hanya berdiri di sana,
            dan dia yang dadanya terbakar oleh pancaran rasa malumu bagai api:
            siapakah wanita nan tak beruntung itu?
            Dialah Ibu Arjuna! 
            Terpujilah pemuda Duryudana itu,
            yang dengan segera memahkotaimu sebagai pangeran di Anga.
            Ya, kupuji dia!
            Dan, kala kau dimahkotai, air mata mengalir dariku
            deras mengalir padamu, membanjiri kepalamu.
 
            Kala kau kembali memasuki arena,
            masuklah Adhirath, si kusir itu, di sampingnya
            dengan sukacita, dan engkau juga, di atas kereta kerajaanmu
            di antara khalayak nan ingin tahu melongokkan kepala mereka,
engkau membungkukkan kepalamu yang baru diurapi,
dan menyentuh kaki si kusir tua, seraya memanggilnya, “Ayah.”
Para sobat Pandawa, dengan kejam dan penuh penghinaan tersenyum.
Tepat pada saat itu, dia memberkatimu sebagai pahlawan,
oh permata di antara para pahlawan,
akulah wanita itu, Ibu Arjuna.
Karna:
Salam bagimu, Puan nan luhur.
Engkaulah seorang Bunda Kerajaan.
Mengapa engkau di sini sendirian?
Di arena pertempuran ini
dan aku, panglima serdadu Kurawa.
Kunti:
            Nak, aku datang tuk memohon kemurahan darimu.
Jangan biarkan aku kembali dengan tangan kosong.
Karna:
            Kemurahan?  Dariku?!
Kecuali kelelakianku, dan apa yang dituntut dharma,
semuanya akan kuletakkan di bawah kakimu,
jika engkau menginginkan demikian.
Kunti:
Aku datang untuk membawamu pergi.
Karna:
            Ke manakah kau kan membawaku?
Kunti:
Ke dadaku nan merindu, ke pangkuan bundawiku.  
Karna:
Wanita nan beruntunglah engkau, diberkati dengan lima putra,
dan aku hanyalah anak muda tak berarti, tanpa kebangsawanan,
di manakah kau dapatkan tempat untukku?
Kunti:
            Tepat di puncak!
            Aku akan menempatkanmu di atas semua anakku,
            karna kaulah yang sulung.
Karna:
            Dengan hak apa  
            aku akan memasuki tempat suci itu?
            Katakan padaku bagaimana
            dari mereka yang telah disingkirkan dari tahta kerajaan,
            aku ini mungkin 'tuk ambil bagian dalam kekayaan itu,
            dalam cinta seorang ibu, yang sepenuhnya milik mereka.
            Hati seorang ibu tak dapat diombang-ambingkan,
            ataupun ditundukkan oleh paksaan.
            Hati itu adalah anugerah ilahi.
Kunti:
            Oh anakku,
sungguh dengan cahaya ilahi, suatu waktu engkau t'lah tiba di pangkuanku,
dan dengan hak nan sama kan kembali lagi, dengan kemuliaan;
sama sekali janganlah khawatir,
ambillah tempatmu itu di antara para saudaramu,
di pangkuan bundawiku.
Karna:
            Bagai dalam mimpi,
kudengar suaramu, Puan yang terhormat.
Lihatlah, kegelapan telah melingkupi kaki langit,
telah menelan ke empat desa,
dan sungai telah menenang.
Kau t'lah bawaku pergi
ke dunia penuh pesona, 
ke rumah nan terlupakan,
ke fajar kesadaran.
Perkataanmu
bagaikan kebenaran-kebenaran lama
menyentuh hatiku yang terpesona.
Keadaan nan sedang mengelilingiku saat ini.
serupa dengan kala diriku sebagai janin,
dalam kegelapan rahim bundaku,

Oh Bunda Ratu,
Wanita nan penuh kasih,
entah ini nyata atau mimpi,
mari letakkan tanganmu
pada pundakku, pada daguku, sebentar saja. 
Sungguh, aku pernah mendengar
bahwa aku telah ditelantarkan oleh ibu kandungku.
Betapa seringnya pada kedalaman malam
aku bermimpi tentang ini:
dengan perlahan dan lembut bundaku datang menjengukku
dan aku merasa bahwa
aku bermuram durja, 
dan memohonnya dengan curahan air mata,
“Bunda, singkapkan kerudungmu, 
biarkan aku memandang wajahmu.”
Seketika itu, sosok itu lenyap,
terkoyak oleh kerakusan dan kehausan mimpiku.
Mimpi itu, apakah tiba juga malam ini dalam rupa Bunda Pandawa,
di padang pertempuran, dekat Bhagirathi?
Pandanglah, Puan, di seberang sungai, di kemah Pandawa
lampu-lampu berkedip,
dan di sisi sini, tak jauh, dalam kandang-kandang kuda Kurawa,
seratus ribu kuda menderapkan kaki.
Esok pagi, pertempuran akbar kan bermula.
Mengapa malam ini,
kudengar dari mulut Bunda Arjuna, suara Bundaku sendiri?
Mengapa namaku bergema di mulutnya
bagai musik nan begitu merdu,
sedemikian hingga hatiku tertuju pada Sang Lima Pandawa,
dan memanggil mereka “adik-adikku”?
Kunti:
Ayolah Nak, ikutlah aku.
Karna:
Baik, Bunda, kukan pergi bersamamu.
Aku takkan bertanya lagi.
Tanpa ragu, tanpa khawatir, kukan pergi.
Puan, engkaulah Bundaku!
Dan panggilanmu telah membangunkan jiwaku –
tak lagi dapat kudengar genderang perang,
pun keagungan suara terompet kerang.
Kekerasan perang, ketenaran pahlawan, kejayaan dan kekalahan –
semuanya palsu.
Ambil aku.
Ke mana kuharus pergi?
Kunti:
            Ke sana, ke seberang sungai,
di mana lampu menyala dalam tenda-tenda nan tenang,
di pasir putih.
Karna:
            Dan di sana,
putera piatu kan menemukan Bundanya selamanya!
Di sana, bintang kutub kan membangunkan malam
dalam matamu nan berlimpah kasih.
Puan, sekali lagi, katakanlah bahwa
aku adalah anakmu.
Kunti:
            Anakku!
Karna:
            Lalu mengapa
telah kaucampakkan aku begitu hinanya –
tanpa kehormatan keluarga, tanpa mata ibu yang menjagaiku
dari dunia yang buta dan asing ini?
Mengapa kau membiarkanku mengapung
di dalam arus hinaan yang tak terbendungkan,
tercampak dari para saudaraku?
Engkau membentangkan jarak antara Arjuna dan aku,
kala mana sejak aku kecil
sebuah ikatan permusuhan pahit
yang halus, tak kasat mata
menarik kami satu sama lain
dalam daya tarik yang tak terelakkan

Bunda, tak punya jawabankah dirimu?
Kurasakan rasa malumu menembus lapisan gelap ini
dan menyentuh semua anggota tubuhku tanpa kata,
kututup mataku.
Biarkan saja -
Engkau tak perlu menjelaskan mengapa engkau menyingkirkanku.
Cinta seorang ibu adalah hadiah utama Tuhan di dunia ini;
mengapa permata suci itu harus kaurenggut
dari anakmu sendiri?
Ini adalah pertanyaan yang dapat
tidak kaujawab!
Namun katakan padaku:
mengapa engkau mengajakku kembali lagi?
Kunti:
Nak, biarkan teguranmu
bagaikan ratusan petir mengoyak hatiku
jadi ratusan keping.
Bahwa aku telah menyingkirkanmu
adalah kutukan yang menghantuiku,
itulah sebabnya
diriku ini bagai tak beranak bahkan dengan lima putra terkasih,
mengapa lengan-lenganku terus mencari di dunia ini
mengepak dan menggapai-gapai  
justru dirimu.
Untuk anak yang tercampakkan itulah
hatiku menyalakan lampu,
dan dengan membakar hatiku sendiri,
aku memberi penghormatan kepada Pencipta alam semesta ini.
Hari ini aku menganggap diriku beruntung
bahwa aku telah berhasil melihatmu. 
Kala mulutmu
belum mampu mengucapkan sepatah kata pun,
aku telah melakukan kejahatan nan mengerikan.
Nak, dengan mulut yang sama
maafkan ibumu yang jahat.
Biarkan pengampunan itu membakar
lebih ganas dari segala teguran di dalam dadaku,
mengubah dosa-dosaku menjadi abu dan menjadikan aku suci!
Karna:
Oh Bunda, berikan, berikan padaku debu di kakimu,
dan ambillah air mataku!
Kunti:
            Nak, aku tidak datang
hanya dengan harapan bahagia memelukmu ke dadaku,
tapi untuk membawamu kembali 
ke tempat di mana kau berhak berada.
Engkau bukanlah anak kusir, tetapi seorang bangsawan -
singkirkan penghinaan yang telah menjadi nasibmu
dan marilah pergi ke tempat mereka semua - lima saudaramu.
Karna:
Tapi Bunda, aku ini anak seorang kusir,
dan Bunda Radha –
kemuliaan yang lebih besar dari itu aku tidak punya.
Biarkan Pandawa menjadi Pandawa,
para Kurawa tetap Kurawa –
Aku takkan iri pada siapa pun.
Kunti:
            Dengan keperkasaan lenganmu,
pulihkan kerajaan milikmu sendiri, Anakku.
Yudhistira akan mengipasimu dengan kipas putih;
Bima akan memayungimu;
Arjuna, sang pahlawan, kan jadi kusirmu;
Guru Dhaumya akan melantunkan mantra Veda;
dan engkau, penghancur musuh,
akan tinggal bersama saudara-saudaramu,
menjadi penguasa tunggal di kerajaanmu,
duduk di tahtamu nan berhiaskan permata,
kuasamu tak terbagikan.
Karna:
Singgasana, tentu saja!
Untuk seseorang yang begitu saja menolak ikatan keibuan
engkau sedang menawarkan, Bunda, jaminan kerajaan?
Kekayaan yang darinya 
engkau pernah mencabut hak warisku
tak dapat dikembalikan –
itu di luar kemampuanmu.
Kala diriku lahir, Bunda,
dariku kau telah mengoyak:
ibu, adik-adik, keluarga kerajaan –
semuanya lenyap sekaligus.
Jika hari ini aku mesti mengingkari ibu angkatku, 
dia yang dari kasta kusir,
dan dengan berani menyebut Bunda Ratu sebagai ibuku sendiri,
jika aku lepaskan ikatan yang mengikatku pada Pangeran Kuru,
dan bernafsu atas sebuah takhta kerajaan,
maka celakalah aku!
Kunti:
            Terberkatilah engkau, Puteraku,
engkau benar-benar berjiwa pahlawan.
Oh, Dharma, betapa keras keadilanmu!
Oh, siapa yang tahu, pada hari itu,
ketika aku meninggalkan seorang anak kecil nan tak berdaya,
bahwa dari suatu tempat ia akan mendapatkan kekuatan seorang pahlawan,
suatu hari kan kembali dari jalan-jalannya yang gelap,
dan dengan tangannya yang kejam melemparkan senjata ke arah mereka,
yang adalah para saudara laki-lakinya,
yang lahir dari ibu yang sama!
Betapa beratnya kutukan ini!        
Karna:
            Ibu, jangan takut.
Kuramalkan bahwa Pandawa-lah yang kan menang.
Dari jendela kesuraman malam ini
aku bisa membaca dengan jelas di depan mataku
hasil perang yang mengerikan:
terbaca dalam cahaya bintang.
Waktu hening dan tenang ini
dari langit tinggi tanpa batas
sebuah lagu mengalun di telingaku:
usaha tanpa kemenangan, keringat tanpa harapan -
aku bisa melihat akhirnya, penuh kedamaian dan kehampaan.
Sisi yang akan kalah -
tolong jangan minta saya meninggalkan sisi itu.
Biarkan para putera Pandu menang, dan menjadi raja,
biarkan aku tinggal bersama yang kalah,
mereka yang harapannya akan pupus.
Pada malam kelahiranku, engkau meninggalkanku di bumi:
tanpa nama,
tunawisma.
Dengan cara yang sama hari ini,
jadilah kejam Ibu, dan tinggalkan aku:
tinggalkan aku pada kekalahanku yang sepi, tanpa sorak. 
Hanya berilah aku berkatmu sebelum engkau pergi:
Semoga  ketamakanku akan kemenangan, 
akan ketenaran atau untuk sebuah kerajaan 
jangan pernah membelokkanku 
dari jalan kepahlawan dan keselamatan.  


15 Phalgun 1306
Saduran dan terjemahan oleh
Rabindranath Tagore
pada musim semi 1900