Tuesday, December 29, 2020

 


PENJELASAN TENTANG SIKAP MORAL GEREJA TERHADAP

BEBERAPA JENIS VAKSIN UNTUK COVID-19

 

Beredar di tengah masyarakat tentang sumber/asal dari beberapa jenis vaksin untuk Covid-19. Secara garis besar vaksin Covid dibagi menjadi 4 jenis: virus yang dilemahkan (whole virus), asam nukleat (nucleic acid), subunit protein (protein subunit), vektor virus (viral vector). Beberapa jenis dari vaksin ini menggunakan baris sel (cell lines) yang dikabarkan berasal atau bersumberkan dari janin yang diaborsi. Lih. https://www.gavi.org/vaccineswork/there-are-four-types-covid-19-vaccines-heres-how-they-work.

 

Inilah yang menimbulkan pertanyaan di masyarakat: apakah memakai vaksin yang diproduksi dengan cara ini berarti menyetujui aborsi, dan oleh karenanya tidak bermoral? 

 

Gereja telah secara resmi menjawab melalui Pontifical Academy for Life (PAF):  http://www.academyforlife.va/content/pav/en/the-academy/activity-academy/note-vaccini.html dan Congregation of the Doctrine of Faith (CDF): http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/documents/rc_con_cfaith_doc_20201221_nota-vaccini-anticovid_en.htmlSecara prinsip sebenarnya Gereja juga telah membahas dalam dokumen dari CDF Dignitas Personae pada tahun 2008 lalu.

 

Untuk memahami dengan lebih sederhana penjelasan Gereja yang teknis itu, kita pertama-tama perlu memahami hal-hal berikut: 

·      -   Baris sel dari janin yang telah diaborsi. 

·     -   Penggunaan baris sel tersebut untuk memroduksi vaksin. 

·      -  Prinsip moral terkait penggunaan vaksin jenis tersebut. 

·      -  Keputusan moral setiap pribadi. 

 

A.    Baris sel janin yang telah diaborsi 

Baris sel adalah kultur atau pengembangbiakan sel hewani yang dapat diulang terus menerus, bahkan sampai tak terhingga. Sel-sel ini berasal dari pengembangbiakan awal sel, dan kultur ini berasal dari sel, jaringan, atau organ dari hewan yang digunakan dalam eksperimen dalam waktu singkat, beberapa hari setelah pembiakan. Dari sini kita paham bahwa baris sel merupakan “turunan” ke dua dan seterusnya dari sel atau organ awali.


PAF menjelaskan bahwa baris sel yang digunakan sekarang untuk eksperimen dan produksi vaksin berasal dari janin yang telah diaborsi (digugurkan atau keguguran tidaklah begitu jelas) dari tahun 1960-an. Baris sel ini bisa disebut: materi biologis terlarang (illicit biological materials). Jika baris sel dapat dihasilkan dalam kurun waktu beberapa hari, 20 tahun merupakan waktu dan jarak yang amat jauh dari sumber utamanya. Jadi, baris sel yang digunakan ini bukan diambil dari beberapa janin yang digugurkan akhir-akhir ini seperti dibayangkan oleh beberapa orang. Rentang waktu dan jarak yang jauh ini merupakan unsur penting dalam mengambil keputusan moral. 

 

 

B.    Penggunaan baris sel untuk memroduksi vaksin

Mengapa baris sel begitu penting di sini? 


Hal ini dikarenakan baris sel telah merevolusi penelitian ilmiah dan digunakan untuk memroduksi vaksin, menguji metabolisme  dan unsur racun dari obat-obatan, produksi antibodi, studi fungsi gen, dan menghasilkan jaringan-jaringan artifisial (mis. kulit artifisial) dan sintesis senyawa biologis, mis. protein-protein terapeutis. Lihat: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3341241/.


Namun sekali lagi, dalam hal produksi vaksin Covid-19, baris sel bukan diambil langsung dari janin-janjin yang baru diaborsi, tetapi dari baris sel yang diturunkan sekian lama (20 tahun). Jadi bukan dengan langsung membunuh janin maka baris sel didapatkan, tetapi memanfaatkan dari apa yang sudah dikembangkan puluhan tahun lamanya. 

 

C.    Prinsip moral terkait penggunaan vaksin

Di dalam moralitas katolik dikenal prinsip kerja sama dalam kejahatan (cooperation in evil), namun ada gradasi atau tingkatan kerja sama yang membuat sebuah kerja sama dikatakan buruk atau salah secara moral (lih. KGK 1868). Kerja sama yang bersifat formal, yaitu mengintensikan kejahatan yang sama dengan pelaku utama, yang dianggap secara moral buruk atau salah. Sedangkan kerja sama secara material, artinya: tidak mengintensikan perbuatan buruk yang dilakukan pelaku utama, belum tentu secara moral bersalah. 


Dalam hal pemakaian vaksin jenis ini, CDF mengatakan bahwa kerja sama yang dilakukan pemakai disebut kerja sama material pasif dan jauh, kewajiban moral untuk menolak melakukan perbuatan ini tidak ada, apalagi orang sedang dihadapkan pada situasi yang amat berat, yakni pandemi yang sangat membahayakan hidup masyarakat luas. Pengetahuan akan sumber vaksin ini tidak serta merta membuat orang bekerja sama secara formal atau mengintensikan kejahatan aborsi yang sama. 


Tentu saja sebagai orang katolik yang baik, kita menentang aborsi dan tidak mengintensikan untuk menyetujuinya untuk tujuan yang baik. The end does not justify the means. Keyakinan ini harus tetap ada dan dimiliki oleh setiap insan katolik, seraya terus berharap dan mendesak agar vaksin diproduksi dengan bersih secara moral, sehingga tidak mengganggu hati nurani penggunanya. 

 

 

D.    Keputusan moral setiap pribadi

Menerima vaksinasi adalah tindakan yang bebas dan tidak boleh dipaksakan. Hal ini akan tetap menjadi prinsip utama yang dipegang oleh setiap orang. Namun, prinsip ini tidak berdiri sendirian, kita sedang dihadapkan pada keselamatan global penduduk dunia, hal ini tidak boleh dipandang remeh. Tanggung jawab pribadi terhadap keselamatan dunia, demi kepentingan umum, hendaknya diutamakan. 


Jika seorang pribadi masih bersikeras untuk menolak vaksin atas dasar rigiditas moralnya, maka ia juga punya kewajiban moral untuk menjaga secara detil dan menyeluruh dirinya di tengah pandemi ini agar tidak terjangkiti virus dan menjangkiti orang lain. Dapatkah seorang pribadi menjamin penuh hal ini? Saya kira jawabannya di tengah pandemi global ini adalah: tidak mungkin. 

 

         Semoga sedikit membantu. Mari kita satukan doa-doa kita, agar pembagian dan pemberian vaksin berjalan dengan baik dan adil. Juga agar dengan kuasa-Nya dan kerja keras kita Tuhan menghentikan pandemi ini. 


Tuhan Yesus memberkati kita sekalian! 

 

Benny Phang, O.Carm

Wednesday, December 2, 2020

                                                


                          

           
Sekali lagi, Bahasa Roh!

 

            Allah Roh Kudus bernasib malang. Pribadi ketiga dari Tritunggal Mahakudus ini terlupakan oleh umat katolik, bahkan seringkali mengundang kecurigaan. Kesalahpahaman ini menjadi ekstrim ketika dalam sebuah seminar seorang anggota Dewan Paroki pernah memberi pernyataan dengan gagah penuh keyakinan, “Bunda Maria itu dalam ajaran Gereka Katolik posisinya jauh lebih penting dan tinggi daripada Roh Kudus yang miliknya orang-orang kharismatik itu.” 

 

Padahal di sisi lain, Syahadat resmi Gereja sudah merumuskan dengan jelas dan padat peran Roh Kudus dalam peristiwa inkarnasi, “Ia dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria dan menjadi manusia.” Dan mengenai Diri-Nya sendiri, “Aku percaya akan Roh Kudus, Dia Tuhan yang menghidupkan; Ia berasal dari Bapa dan Putra, yang serta Bapa dan Putra disembah dan dimuliakan; Ia bersabda dengan perantaraan para nabi.” 

 

Kehadiran-Nya sejak awal dunia menjadi lebih nyata dalam diri Yesus Kristus dan dalam Gereja-Nya. Kisah Para Rasul telah mengisahkan dengan indah bagaimana Roh Kudus membimbing Gereja-Nya pada awal perjalanannya yang sangat tidak mudah. Namun, kehadiran-Nya kembali tersembunyi, namun terus membimbing dan memberi kehidupan bagi Gereja. Kharisma-kharisma secara khusus bekerja di padang gurun, pada komunitas-komunitas senobit, pada hidup membiara, pada gerakan mendicantes dan serikat-serikat religius. Secara mengejutkan setelah Ia membimbing Gereja melalui Konsili Vatikan II, dan setelah ditunggu-tunggu oleh Josef Ratzinger yang kelak akan menjadi Paus, akhirnya Roh Kudus menampakkan diri-Nya secara lebih nyata lagi melalui Gerakan Pembaharuan Hidup di dalam Roh. Dengan segera gerakan ini menjadi gerakan yang terbesar anggotanya di dalam Gereja. 

 

Dari gerakan inilah kita mengenal kembali karunia-karunia yang nampaknya spektakuler dan khas dari gerakan ini. Dicatat dan dibahas oleh Yves Congar, dalam trilogi buku klasiknya: I Believe in the Holy Spirit, karunia-karunia tersebut adalah: bahasa Roh, kenabian, dan penyembuhan. Dan yang paling kontroversial di sini adalah karunia bahasa Roh. 

 

Membahas tentang bahasa Roh memang tidak mudah. Banyak terjadi prasangka-prasangka yang tidak sehat di kalangan umat. Ada yang membela membabi-buta, ada yang menolak mentah-mentah. Ini terjadi di kalangan umat dalam skala yang makin mengecil, tapi (masih saja) terjadi di kalangan gembala umat. Mengapa hal ini terjadi? Karena karunia Roh ini adalah karunia yang paling kontroversial dan seolah-olah memisahkan antara yang karismatik dan non karismatik. Kita perlu keberhati-hatian dalam berpikir dan berefleksi teologis, sehingga tidak gegabah dan menunjukkan emosi saja. Keangkuhan teologis menujukkan bahwa keutamaan kristiani kerendahan hati belum berkembang dalam pribadi seseorang! 

 

Pertama-tama bahasa Roh adalah salah satu karunia Roh Kudus (1 Kor 14:2-dst). Karunia adalah gift, anugerah, hadiah dari Allah. Jadi itu bukan barang buatan manusia dan terserah pada yang memberi, yakni Allah. Jadi bahasa Roh bukanlah fenomen gila atau penyakit psikologis, tapi karunia Allah. Jadi tidaklah tepat kalau orang dengan angkuh menolak adanya karunia ini, dan juga sangatlah salah kalau orang bermain-main dengan mengklaim atau meniru-niru karunia ini. Karunia adalah pemberian bebas dari Allah, tidak bisa dipaksakan, hanya bisa dan perlu dimohonkan dengan rendah hati. 

 

Lalu bahasa Roh sendiri itu apa? Apakah itu glossolalia (berkata-kata dengan tidak jelas) atau xenoglossia (berkata-kata dalam bahasa asing dengan baik dan jelas tanpa punya pengetahuan tentang bahasa tersebut)? Jawabannya keduanya. Akan tetapi yang lebih biasa terjadi adalah glossolalia, meskipun memang dalam beberapa kasus ada xenoglossia, seperti dalam Pentakosta perdana (Kis 2:1-13). Thomas Aquinas dalam ST II-II, q. 176, art. 1-2 merujuk pada xenoglossia sebagai karunia yang diberikan pada Gereja awali untuk karya pewartaan Injil, Kabar Sukacita. Setelah diadakan penyelidikan, tak ada fenomen bahasa di dalam bahasa Roh, ini melulu ungkapan atau doa Roh pada Allah dengan cara misterius (I Kor 14:2.14), suatu stenagmois alaletois (inexpressible groanings, Rom 8:26) dan untuk membangun hidup rohani pribadi (I Kor 14:4). Ini adalah karunia doa pribadi yang sangat dirindukan oleh para kudus! 

 

Karunia ini ada dan baik. Saya pribadi sangat menyayangkan (masih) adanya seorang gembala umat yang tampil di media sosial dan dengan angkuh dan nada meremehkan menganggap glossolalia ini hanya sebagai gumaman tanpa makna saja dan mengesampingkannya sebagai sebuah karunia Roh. Be humble, Brother. You are teaching the faithful! Teolog besar seperti Yves Congar memberi catatan kritis tapi tak mengejeknya, ia mendapat gelar kehormatan Kardinal sebagai penghargaan dari Bunda Gereja atas karyanya sebagai teolog dan peritus (staf ahli) dalam Konsili Vatikan II. Raniero Cantalamessa yang baru mendapat gelar Kardinal menulis dengan indah karunia ini dalam bukunya Come, Creator Spirit. Paus Yohanes XXIII mengundang kehadiran Roh Kudus sebelum ia mengumumkan Konsili Vatikan II. Paus Paulus VI memohon kekuatan-Nya dalam melaksanakan amanat Konsili yang tidak mudah. Para Paus Yohanes Paulus II, Benediktus XVI dan Fransiskus menyambut dengan gembira karya Roh ini dan Gerakan Pembaharuan. Paus Fransiskus bahkan mengundang pertemuan tahunan di lapangan St. Petrus Vatican. Daftar masih bisa dipanjangkan lagi. Sebagai gembala umat kita dipanggil untuk menyatukan, bukan menimbulkan keretakan; mengajar dengan bijak, bukan menurut selera pribadi. 

 

Karunia bahasa Roh adalah karunia yang baik dan perlu, tapi tidak begitu penting jika dibandingkan karunia lain yang memiliki dampak sosial langsung, seperti  karunia nubuat (I Kor 14:3). Rasul Paulus menilai pentingnya karunia dengan patokan seberapa besar ia secara langsung membangun jemaat. Sedangkan karunia bahasa Roh adalah karunia yang membangun seseorang secara pribadi dalam doa pribadi sebagai bentuk relasinya dengan Allah (IKor 14:2.4-5). 

 

Karunia ini adalah karunia biasa (bdk. zaman ‘emas’ karunia ini dalam Kisah Para Rasul), dan bukan karunia elitis yang membuat orang menjadi eksklusif dan merasa diri lebih tinggi daripada orang lain yang tidak menerima karunia ini. Banyak orang yang tidak bijaksana memahami arti karunia ini. Jika karunia itu benar-benar dari Roh Kudus, maka karunia bahasa Roh ini akan membuat kita tetap rendah hati dan bersatu dalam Gereja. Kalau membuat kita sombong dan memecah belah, jangan-jangan itu adalah perbuatan roh jahat. Ingat, si jahat bisa memalsukan semua hal rohani, kecuali kasih. 

 

Meskipun bahasa Roh adalah karunia biasa, namun karunia ini adalah karunia doa yang mendalam yang, sekali lagi, sangat dirindukan oleh para pujangga doa dalam hidup Gereja. Para umat di zaman awal Gereja menggunakan karunia ini dengan ekstensif, lihat Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus. Paulus juga menggunakannya, bahkan mengaku bahwa ia berbahasa Roh “lebih baik” daripada yang lain (1 Kor 14:18). Rasul agung ini, yang menggunakan karunia bahasa Roh dengan bijaksana, menasihatkan agar kita berusaha memperoleh karunia ini beserta dengan karunia-karunia Roh yang lain, namun hendaklah semua karunia itu digunakan untuk membangun jemaat (1 Kor 14:12). Mohonlah karunia ini, dan janganlah menolak jika kita mendapatkannya. Peliharalah karunia ini dengan tekun, karena Allah yang memberikan karunia ini pada kita, tahu apa yang terbaik bagi kita. Janganlah memadamkan karunia Roh Kudus karena malu pada manusia! 

 

Sebagai orang Katolik kita tak perlu takut akan karunia ini. Mengapa harus takut pada karunia Allah? Dampak yang  terjadi kalau orang menerima karunia ini adalah: tenang-damai, lega, pikiran terfokus dalam doa, dan feel the great love of God in prayers. Bagi mereka yang tak mendapat tak usah dipaksakan, berpura-pura mendapatkannya dan meniru-niru, sehingga menjadi aneh, akan tetapi juga jangan menutup diri pada karunia doa ini. Bagi yang mendapat jangan pamer karena ini bukan barang mainan dan barang pameran, tapi karunia kudus dari Allah. Sekali lagi tidak ada status rohani yang lebih tinggi antara yang mendapat karunia ini dan mereka yang tidak mendapatkannya. Bahasa Roh bukanlah karunia penanda bahwa seseorang itu kudus! Ada uncountable karunia yang tersedia, jangan khawatir. Tapi sekali lagi karunia bahasa Roh  ini adalah karunia common, umum, maka dari itu mohonkanlah karunia ini dengan rendah hati dan penuh kerinduan mendalam. 

 

Sebagai penutup marilah kita berpegang teguh pada ajaran St. Paulus sendiri: “Kamu memang berusaha untuk memperoleh karunia-karunia Roh, tetapi lebih daripada itu hendaklah kamu berusaha mempergunakannya untuk membangun jemaat” (1 Kor 14:12).

 

 

Roma, 2.12.2020

Benny Phang O.Carm