Wednesday, August 12, 2009

MENUNGGANG KERBAU


“Pada suatu waktu hiduplah seorang anak gembala di sebuah dusun kecil. Ia bernama Diri. Dibesarkan dalam lingkungan gembala, pada usia dua belas tahun ia tergerak untuk mencari seekor kerbau liar, seperti tradisi di desa itu. Maka berangkatlah Diri untuk mencari kerbau.

Sesampainya di sebuah padang Diri mulai mengamati keadaan sekitar, mempelajari padang itu. Dilihatnya di kejauhan sana di sekitar padang rumput itu terbentang hutan, bukit, sungai, serta rawa-rawa. Setelah ia cukup paham akan situasi sekitar padang itu, ia mulai mengarahkan perhatiannya untuk mencari tanda-tanda kehadiran seekor kerbau. Berhari-hari ia berjalan mengelilingi padang itu, sampai akhirnya di dekat rawa-rawa dalam perjalanan menuju ke hutan, dilihatnya jejak-jejak kerbau.

Diri merasa gembira mengamati jejak itu. Ia duduk dan mengamat-amati jejak itu. Seolah-olah ia sudah menemukan si kerbau. Berjam-jam ia tinggal dalam kegembiraan itu, namun pikiran sehat dan suara hatinya menyadarkan dia bahwa yang ia lihat hanyalah jejak yang menunjukkan kehadiran si kerbau dan bukan kerbau itu sendiri.

Maka bangkitlah Diri untuk mengikuti arah jejak kerbau itu, ternyata jejak-jejak itu mengarah ke hutan yang lebat. Terbersit ketakutan dalam hati Diri, selama hidupnya ia tak pernah memasuki hutan, kini ia harus masuk ke hutan itu untuk menemukan si kerbau yang didambakannya dan sudah ia lihat jejak-jejaknya. Diri menetapkan hatinya untuk berani memasuki hutan itu sendirian, hanya berbekal jejak-jejak kerbau itu. Mulailah ia melangkahkan kakinya untuk memasuki hutan itu.

Hutan perawan itu amat lembab, dedaunan pohon begitu lebat sehingga menghalangi sinar matahari untuk dengan penuh memasuki hutan. Di atas pohon-pohon ia lihat bergelantungan ular-ular dan kera-kera. Serangga-serangga aneh berkeriapan di lantai tanah hutan itu. Teriakan serak gagak-gagak menambah seram keadaan hutan. Namun hati Diri sudah tetap, ia mengarahkan diri pada jejak-jejak itu, sambil tetap waspada dan berjaga agar ia tidak mendekat ke ular-ular dan dipagut oleh mereka. Juga ia menghindari monyet-monyet cerdik yang seringkali mengacaukan arah jalannya mengikuti jejak-jejak kerbau itu. Serangga-serangga kecil juga dilewatinya dengan penuh kehati-hatian, meskipun mereka kecil, namun jika mereka menyerangnya dalam jumlah besar maka bisanya akan dapat mematikan. Hutan lebat itu dijalani dengan tabah oleh Diri.

Setelah berhari-hari ia menjelajahi hutan di lihatnya di depan sana tepi hutan, dan didengarnya suara lenguhan seekor kerbau, sedangkan jejak yang dilihatnya makin jelas. Berbunga-bungalah hati Diri. Ia berlari ke arah tepi hutan. Di sana, di kaki bukit dilihatnya seekor kerbau sedang merumput dengan santainya. Hatinya semakin tetap dan didorong oleh keberaniannya ia mendekati kerbau liar itu.

Semakin dekat si kerbau tampak ramah. Diri merasa senang, ia berpikir tak lama lagi ia akan mendapatkan kerbau itu. Semakin dekat kerbau itu melihatnya dan tetap diam di sana. Diri semakin mendekat, mengulurkan tangannya untuk mengelus kerbau itu. Si kerbau diam menikmati elusan tangan Diri. Ia berkata pada kerbau itu, “Kau kini milikku kerbau sayang, kau milikku. Namamu sekarang si Kiki.” Diri mulai menjadi lebih berani, ia memegang leher kerbau itu, untuk menunggangi kerbau itu. Merasakan tangan Diri terlalu kuat mencekik lehernya, si kerbau liar itu segera menyepak-nyepak dan melontarkan Diri dari punggungnya. Diri berjuang keras untuk dapat tetap dapat menaiki kerbau itu. Ia semakin mencekik leher kerbau itu dengan rangkulannya yang semakin ketat. Si kerbau makin liar menyentak, dan terlontarlah Diri ke tanah. Sedangkan kerbau itu berlari menjauh, jauh sekali, menghilang di antara pepohonan di bawah kaki bukit sana, meninggalkan Diri terkapar di tanah, sendirian.

Diri terkejut, ia berpikir bahwa si kerbau sudah berhasil dimilikinya, namun kenyataannya pahit, kini ia kehilangan kerbau itu. Terduduklah Diri di lantai tanah, merenungi kegagalannya. Ia ingin memiliki kerbau itu, tapi kerbau itu berkelit dan menghilang. Setelah merenung beberapa saat ia tahu bahwa ia tidak boleh tergesa-gesa. Ia harus bersabar. Maka bangkitlah lagi Diri untuk mencari kerbau itu.

“Kiki....kiki.....kiki.....!” dipanggilnya nama si kerbau itu terus menerus sampai habis suaranya. Berminggu-minggu ia tak menemukan kerbau itu. Ia putus asa, rasa ingin memiliki kerbau itu kini sudah hilang. Ia ingin kembali ke kampung halamannya saja. Sebelum pulang, ia ingin menikmati suasana indah sekitar kaki bukit dan tepi hutan itu. Ia potong rerumputan dan diletakkan didekatnya, ia ingin meninggalkan makanan untuk si kerbau, sebelum ia pergi meninggalkannya untuk selamanya. Ia sudah tak mengingini kerbau itu.

Angin semilir, keindahan alam, dan keheningan sekitar membuat Diri tertidur sambil bersandar pada sebuah pohon besar. Setelah beberapa saat, turunlah sore hari, dirasakannya ada sesuatu yang membasahi mukanya, ia membuka mata dan ia sangat terkejut, ternyata si kerbaulah yang menjilati mukanya untuk membangunkan dia dari tidur.

Betapa gembiranya Diri melihat kerbau itu kembali padanya, saat dia tak menginginkannya lagi. Kerbau itu malah makan dengan lahap rerumputan yang dipotongnya, dan kemudian berbaring di sisinya. Diri heran melihat sikap kerbau itu, namun kemudian yang mengejutkan lagi, kerbau itu meletakkan kepalanya dipangkuan Diri dan setelah beberapa saat ia tertidur. Diri mengelus kepala kerbau itu. Kegembiraannya meluap tiada terkira. Ia mendapatkan kerbau itu kala ia tidak ingin mendapatkannya. Kegembiraan itu membuatnya tertidur pula, amat lelap, bersama si kerbau.

Malam telah berlalu dan fajar menyingsinglah sudah. Diri terbangun oleh sapuan sinar matahari pagi dan juga Kiki, si kerbau. Setelah keduanya memakan bebuahan hutan, mereka membasuh diri dalam air kolam alami kecil di dekat hutan. Setelah keduanya segar, Diri mengajak Kiki untuk pergi ke kampung halamannya dan berjalan bersama. Ternyata Kiki menundukkan diri, seolah berkata, “Naikilah aku.” Diri tak percaya apa yang dilihatnya. Pelan-pelan ia mulai menaiki punggung Kiki. Setelah Diri menetapkan posisi duduknya, bangkitlah Kiki dan mulai berjalan. Betapa gembiranya Diri! Kini ia dapat menaiki kerbau itu tanpa usahanya! Kerbau itu mengajaknya berjalan naik terus naik ke puncak bukit. Ayunan langkah si kerbau, udara pagi, bebauan bunga-bunga liar, dan suara siulan burung-burung membuat Diri serasa di surga. Sesampainya di atas bukit ia melihat desanya, pasar di sekitarnya, dan pemandangan alam yang luar biasa indah. Kerbau itu membawanya ke tempat yang ia tak bayangkan sebelumnya.

Melihat desa dan pasar di sekitarnya serta orang-orangnya yang sibuk bekerja, timbullah cinta Diri pada keluarga dan orang-orang yang dilihatnya dari kejauhan itu. Ia mengajak Kiki untuk turun gunung. Kiki menurut. Maka Diri menuruni gunung, sambil menunggangi Kiki, terus ia menuju ke pasar menunggangi si kerbau. Ia akan dapat berbuat banyak untuk membantu kerja keluarga dan teman-temanya dengan kekuatan kerbau yang sedang ditungganginya. Ia membawa kerbau itu pada mereka. Ia dapat mengajarkan pada mereka yang mau mendengarkan kisah hidupnya, bagaimana mendapatkan si kerbau, tanpa ingin memilikinya. Ia tahu ini dengan pasti, karena ia mengalaminya dalam jatuh dan bangunnya.

Diri telah kembali ke kampung dan ke pasar, namun kini ia kembali dengan menunggang kerbau!”

Mengertikah Anda arti kisah ini? Renungkan!