Tuesday, January 8, 2008

Utilitarianisme dalam Hubungan Antarumat Beragama


Kompas, 20 Desember 2004

PREAMBULE UUD 1945 mencantumkan hakikat dasar bernegara kita dengan menegaskan bahwa, "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa... membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia... dan untuk memajukan kesejahteraan umum... yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa...".

Suatu teks yang sangat religius yang mengakui bahwa negara berhasil memperoleh kemerdekaannya karena rahmat Allah, karena itu negara bertekad untuk melindungi segenap bangsa dan mendasarkan dirinya pertama-tama pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ini suatu pernyataan religius yang sangat inklusif sebagai lawan dari keinginan untuk membentuk kehidupan bernegara dan beragama yang eksklusif. Pernyataan ini disadari oleh para bapa pendiri bangsa sebagai kristalisasi dan perwujudan suatu sikap toleransi yang mendalam dan mengakui prinsip bonum commune (kesejahteraan umum) dalam kehidupan beragama dalam negara kesatuan Republik Indonesia.

Marilah kita menelaah kembali warisan leluhur bangsa ini dalam kenyataan kita di sini dan sekarang. Konsep beragama yang diwariskan sebagai sikap toleran yang mendalam menjadi tercabik karena kepentingan-kepentingan politik tertentu. Konsep beragama toleran telah berganti menjadi konsep beragama yang utilitaris.

Utilitarianisme berasal dari kata utilis (Latin) yang berarti: berguna. Utilitarianisme sering kali disebut dengan teori kesenangan yang terbesar (the greatest happiness theory). Singkatnya, teori ini berbunyi, "seseorang hendaknya bertindak sedemikian rupa sehingga memajukan kesenangan atau kegunaan terbesar dari sebanyak mungkin orang".

Prinsip ini sendiri tidaklah buruk, seperti banyak disalah mengerti. Akan tetapi, dalam pelaksanaan praktis sering kali prinsip ini dengan mudah berbelok menjadi the majority must rule. Kalau sudah demikian aspek "-isme" dari prinsip ini akan memunculkan kelemahan mendasarnya, yakni ketidakadilan.

Utilitarianisme tidak menjamin keadilan, maka dari itu utilitarianisme tidak dapat menjamin hak-hak manusia, terutama hak-hak asasi. Dalam konteks hubungan antarumat beragama yang berprinsip utilitarianisme, hak asasi beragama bagi minoritas dan mengungkapkannya dalam kehidupan tidaklah dapat dijamin. The majority must rule meskipun harus mengorbankan minoritas.

Konsep utilitaris dalam hubungan antarumat beragama bukanlah warisan leluhur para bapa pendiri bangsa dan bukanlah warisan leluhur sejarah bangsa kita. Sejarah membuktikan di tengah jatuh dan bangun kehidupan beragama bersama, ada jalinan hidup rukun damai yang indah.

Semuanya menjadi rusak pada waktu penjajah datang dan mem-brain wash kesadaran luhur bangsa kita dengan politik devide et impera. Prinsip memecah belah untuk dapat memerintah dengan mudah. Prinsip ini telah berevolusi dan masih hidup sampai sekarang. Secara tidak sadar banyak orang masih gemar bermain dengan prinsip devide et impera yang dikemas dalam prinsip utilitarianisme.

Penyimpangan utilitaris dalam kehidupan beragama ini mengingatkan kita akan karya Charles Darwin, Survival for the Fittest. Yang kuat yang menang, mayoritas mesti memerintah. Ini hukum rimba.

Almarhum Romo Mangun sering kali mengutip hal ini. Akan sangatlah kontras jika prinsip rimbaisme ini diterapkan dalam kehidupan beragama yang amat sangat khas manusiawi. Sebab, hanya manusialah yang berakal budi dan berhati nurani dan yang memiliki agama atau kepercayaan.

TIDAK ada satu agama pun yang menggarisbawahi sikap saling makan-memakan. Akan tetapi, sikap rimbaisme ini dipelihara subur oleh kaum yang mengaku diri beragama. Aneh. Contradictio in terminis! Penyimpangan utilitaris ini bisa (dan sudah) berkembang ke arah melahirkan tindakan-tindakan ekstrem dengan logika yang sudah parah terkontaminasi: beragama lain sama dengan berbuat maksiat.

Coba bandingkan. Pelacuran disegel dan dibakar, para pelacur diciduk dan dikucilkan. Rumah ibadat disegel dan dibakar, umatnya dikucilkan. Mereka dikucilkan bukan karena berbuat jahat, tetapi karena beragama lain. Fenomena yang amat aneh. Hasil dari mentalitas penjajah dan terjajah.

Ini bisa dibandingkan dengan rasisme Adolf Hitler yang tertuang dalam tulisannya Mein Kampf (Perjuanganku), ketika dia bicara dengan sikap sinis-arogan tentang rasisme-nya: "Die Voraussetzung hierzu lieght nicht im Verbinden von Höher – und Minderwertigem, sondern im restlosen Siege des ersteren. Der Stärkere hat zu herrschen und sich nicht mit dem Schwächeren zu verschmelzen, um so die eigene Größe zu opfern." (Prakondisi untuk ini-hubungan antar-ras-tidak terletak dalam menghubungkan antara superior dan inferior, tetapi dalam kemenangan total sang superior. Yang lebih kuat harus mendominasi dan tidak bercampur dengan yang lemah karena ini akan mengorbankan keagungannya sendiri).

Mein Kampf akhirnya melahirkan holocaust yang amat menginjak-injak martabat hidup manusia dan itu amat mengerikan. Sejarah hitam yang tidak patut untuk diulang!

Pemilu telah berjalan dengan damai dan indah. Suatu bukti luar biasa kemajuan hidup berdemokrasi bangsa. Tanpa bermaksud membebani, selain hanya mengungkapkan fakta, pemerintahan baru hendaknya kembali menekuni secara serius hal kehidupan antarumat beragama yang sehat dan menjadi pelopor serta moderator kehidupan yang damai dan toleran antarumat beragama.

Damai bukan berarti tidak ada masalah, atau pura-pura tidak ada masalah, tetapi sungguh suatu usaha terus-menerus untuk menggalang persatuan, toleransi, dan kerja sama dalam damai antarumat beragama. Sehingga warisan leluhur bangsa kita tetap menjadi sikap batin yang hidup dalam konsep hubungan antarumat beragama.

Kita dihadapkan pada dua pilihan dasar dalam kehidupan antarumat beragama dalam negara kita, yakni bersikap utilitaris yang bisa terungkap ekstrem seperti dalam Mein Kampf atau dengan kelegawaan kembali lagi menggali warisan luhur pendiri bangsa yang tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila.

Semoga UUD 1945 dan Pancasila tidak dikorbankan oleh nafsu utilitaris kita. Kita pasti memilih untuk maju daripada untuk mundur. Sebagai umat beriman dan beragama mari kita tersungkur mengakui dengan jujur kelemahan kita di hadapan hadirat Sang Mahakuasa yang agung.

Benny Phang
Pemerhati Masalah Etika, Whitefriars Hall-Washington, DC

Menelaah Tendensi "Civic Friendship"


Kompas, 20 September 2004

SITUASI menjelang Pemilu membuat suhu politik menghangat. Suatu dinamika demokrasi yang sehat, yang menandakan, ada kehidupan dalam polis. Mencermati gejala menjelang Pemilu, di Indonesia maupun di Amerika Serikat, ada satu hal yang menarik, merapatnya barisan partai-partai yang berkompetisi.

Merapatnya barisan partai-partai inilah yang menarik ditelaah dalam konteks tendensi ke civic friendship, suatu ide yang disimpulkan Gilbert C. Meilaender, dalam buku Friendship: A Study in Theological Ethics, dari pemikiran Aristoteles dalam Nichomachean Ethics. Sumbangan pemikiran filosofis-etis ini amat menarik untuk dipahami dan direnungkan bersama sebagai bangsa yang sedang berjuang membangun demokrasi sejati.

GUNA memahami ide civic friendship, kita mesti menengok kembali apa pemahaman Aristoteles tentang persahabatan (friendship). Menurut Sang Filsuf, persahabatan memiliki dua kualitas penting yang tidak dapat dipisahkan, yakni preferensial dan mutual. Dua kualitas ini akan membawa pengaruh dalam pemahamannya akan civic friendship.

Persahabatan itu sifatnya preferensial, memilih-milih. Artinya, orang tidak akan menganggap semua orang sebagai sahabatnya. Ada tingkatan-tingkatan tertentu sampai orang menerima orang lain sebagai sahabat. Pertama adalah kenalan, kemudian kawan, baru kemudian sahabat. Persahabatan yang preferensial ini secara hakiki akan mengantar orang pada suatu pilihan akan kelompok. Jika persahabatan itu kian mendalam, maka opsi pada kelompok akan kian intens, sehingga bisa mengarah ke group sufficient. Jika ini terjadi, pintu gerbang terhadap orang lain yang bukan sahabat akan tertutup, bahkan tertutup rapat. Orang Jawa melukiskan ini dalam kalimat terkenal, "Mangan ora mangan asal kumpul." Berkumpul, bersahabat dalam kelompok lebih penting daripada, bahkan, makan.

Selain bersifat memilih-milih, persahabatan juga bersifat mutual, saling menguntungkan. Persahabatan tidak bisa satu arah, maka yang terjadi adalah reciprocity atau simbiosis mutualisme. Dalam konteks polis atau politik yang menjadi bahan simbiosis ini adalah rasa aman, aman dari gangguan pihak lain yang tidak termasuk lingkungan sahabat yang mengancam keberadaannya.

Civic friendship adalah suatu persahabatan dalam konteks politik. Karena terletak dalam kategori friendship maka civic friendship juga bersifat preferensial dan mutual. Mari dicermati konteks ini. Jika persahabatan preferensial itu terjadi dalam lingkungan elite politik, maka yang terjadi adalah merapatnya barisan partai-partai politik tadi dan kian tertutupnya pintu terhadap rakyat. Persahabatan semacam ini bisa menjadi amat berbahaya bagi kepentingan polis atau rakyat. Maka tidak perlu heran, mengapa terjadi fenomena, dalam kampanye rakyat dijadikan kawan, tetapi setelah itu ditinggalkan. Ini karena rakyat bukan sahabat, kawan bisa ditinggalkan atau dilupakan, sahabat tidak.

Dalam konteks persahabatan mutual, merapatnya barisan itu dilakukan demi saling membagi keuntungan, yakni, rasa aman. Aman dalam perlindungan benteng yang kokoh dari para sahabat. Para sahabat yang nota bene dalam konteks elite politik, memiliki sumber-sumber kekuatan besar, baik kekuatan politis, militeristis, atau ekonomis.

Maka, sebenarnya civic friendship bukanlah murni suatu friendship. Civic friendship lebih tepat disebut comrades, yakni, kawan atau teman. Maka jangan heran dalam dunia politik ada istilah “tidak jelas siapa kawan, siapa lawan," karena garis batas kawan dan lawan itu tipis, tidak sekokoh garis batas sahabat dan lawan.

Karena itu, setelah kompetisi melawan partai lain selesai, dan setelah kemenangan politis diraih, maka yang terjadi adalah mengendornya kerapatan barisan dan tampaklah sifat asli civic friendship sebagai comrades. Ini terbukti dengan saling negosiasi internal dalam kelompok tertentu guna mendapatkan berapa banyak kursi di kabinet, berapa banyak kekuasaan yang akan diraih oleh kubu di dalam kubu. Kawan yang bukan sahabat itu dapat saja merapatkan diri atau meninggalkan kelompok demi keuntungan sendiri dan demi rasa aman yang harus dipertahankan.

DI sini kita lihat betapa lemah dan rapuhnya suatu civic friendship. Bentuk persahabatan ini membutuhkan suatu redemptive quality dari bentuk lain yang dapat menutupi kelemahannya. Meilaender, dalam Friendship (2002), menawarkan universal friendship. Persahabatan memang membutuhkan kualitas-kualitas semacam preferensial dan mutual, tetapi kualitas-kualitas persahabatan ini menjadikan persahabatan itu bersifat particular, menyempit, maka ditawarkan suatu persahabatan universal. Persahabatan universal ini, melanjutkan dan memperluas ide Meilaender, mendobrak pintu-pintu yang ditutup oleh persabatan preferensial.

Jadi dalam konteks civic friendship, persahabatan ini membuka juga persahabatan dengan kawan politis, dan yang paling penting, dengan polis atau rakyat. Sehingga di sini “kepentingan rakyat" bukan menjadi suatu jargon basi dari sebuah kampanye politis yang penuh dengan bunga-bunga janji, tetapi menjadi bagian dari hakekat kehidupan negara yang anggotanya dalah para sahabat.

Persabahatan universal dapat juga menuntun bentuk persahabatan mutual menjadi suatu persahabatan yang berorientasi pada kepentingan orang lain, dan tidak mementingkan hal saling menguntungkan. “Friendship demands that one wish a friend good things for his sake," kata Aristoteles dalam Nichomacehan Ethics VIII.2. For his sake, berarti suatu sikap yang keluar dari mementingkan diri menuju ke arah mementingkan orang lain.

Persahabatan ini membuat suatu rasa aman bersama sebagai polis, bukan sebagai individu atau kelompok. Rasa aman yang tercipta bukan lahir dari saling ketakutan, maka dari itu saling melindungi, seperti terungkap dalam jargon politik Julius Caesar si vis pacem, para bellum (jika engkau mau damai, siapkanlah perang).

Keamanan di sini bukan lahir dari rasa takut, tetapi dari kemauan untuk saling memberikan yang terbaik demi sahabat itu sendiri. Akhirnya, persahabatan universal mengajak kita untuk mendobrak garis pemisah antara sahabat dan lawan, karena persahabatan universal adalah persahabatan yang mencakup suatu langkah raksasa, yakni, menjadikan lawan sebagai sahabat atau dalam istilah elegan to love the enemy. Di sinilah letak kekuatan sekaligus keindahan persahabatan universal.

Civic friendship bukan hal yang secara hakiki buruk, tetapi memiliki kelemahan yang signifikan, maka universal friendship amat perlu hadir sebagai suatu redemptive quality. Nama bagi universal friendship ini adalah agape. Maka, di tengah semaraknya dinamika demokrasi ini, sebagai bangsa yang beradab mari kita ber-agape!

Benny Phang
Pemerhati masalah etika, tinggal di Washington, DC