Friday, January 11, 2008

Perintah Agung Kasih


Kompas, 31 Oktober 2007

Dalam kesempatan Idul Fitri 1428 Hijriah lalu, para pemimpin Muslim dari berbagai tempat di dunia menulis sebuah surat terbuka kepada Paus Benediktus XVI dan para pemimpin Kristiani lain. Surat terbuka ini menekankan kembali semangat kerja sama antarumat Muslim dan umat Kristiani dalam mengusahakan perdamaian di dunia.

Aref Ali Nayed, teolog Muslim dari Libya, menegaskan, "Daripada berpolemik, para penanda tangan telah menyarikan ajaran tradisional dan mendasar agama Islam untuk menghormati Kitab Suci orang Kristiani dan sambil mengajak kaum Kristiani untuk semakin lebih, bukan kurang, setia pada ajaran Kitab Suci mereka." Di tengah perbedaan yang ada, surat ini menggarisbawahi persamaan tertulis dalam Alkitab dan Al Quran, yakni "mengasihi Allah dan sesama manusia".

Para pemimpin Muslim berpendapat, perintah agung kasih adalah "fondasi teologis yang paling solid dan mungkin" (the most solid theological foundation possible) dibangun bersama umat Muslim dan Kristiani.

Kasih pada sesama manusia

Dalam surat terbuka itu, diakui bahwa perintah agung kasih merupakan dasar kokoh etika sosial. Dua perintah kasih ini menyatu erat dan tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lain karena pemisahan antarkeduanya hanya akan melahirkan chaos.

Pertama, jika perintah mengasihi Allah terlepas total dari mengasihi manusia, akan lahirlah kekerasan pada sesama manusia yang mengatasnamakan Allah. Demikianlah fanatisme, padahal fanatisme dalam agama apa pun merupakan ungkapan kedangkalan pengetahuan intelektual atau pengalaman rohani akan Allah.

Dari fanatisme juga lahir terorisme, suatu bentuk paling brutal dan ekstrem dari kekerasan terhadap sesama manusia. Dalam terorisme, fantasi yang berlebihan tentang perang kosmis antara yang baik dan yang jahat menjadi acuan tindakan teror yang menciptakan keresahan di sana-sini, bahkan menghancurkan hidup orang lain yang tak berdosa yang dianggap musuh. Yang lebih fatal, kekerasan brutal ini dilakukan "karena Allah memerintahkannya". Kekerasan semacam ini adalah suatu bentuk utopia kosong yang berprinsip salah, "tujuan menghalalkan segala cara". Allah adalah sumber kedamaian tidak mungkin memerintahkan kekerasan brutal yang memakan korban nyawa sesama manusia. Tentang hal ini, surat terbuka itu menulis, "Jika kita tidak memberikan kepada sesama apa yang kita sendiri kasihi, kita tidak akan pernah mengasihi Allah atau sesama kita."

Kedua, jika mengasihi sesama dilepaskan total dari mengasihi Allah, yang lahir adalah humanisme mendangkal yang bisa mengarah ke ateisme. Kalau Allah sebagai Kebaikan Tertinggi dilupakan dalam hubungan kasih antarmanusia, yang lahir bukan kasih pada sesama, tetapi sikap utilitaris sempit yang mendasarkan diri pada kenikmatan. Orang lain dijadikan alat untuk mencapai kesenangan diri. Orang lain yang lemah diperalat dan kukorbankan untuk tujuan politis sendiri. Selerakulah yang menjadi sumber moralitas, persis seperti emotivisme yang ditawarkan David Hume.

Dasar perdamaian

Perintah agung kasih itu dengan demikian adalah dasar kokoh untuk membangun perdamaian sejati. Atas dasar inilah surat terbuka itu menyerukan perdamaian bagi seluruh manusia. Seruan ini bukan demi suatu sopan santun dalam dialog antaragama dan bukan untuk kaum intelektual atau pemimpin saja.

Sayang, banyak orang salah paham akan makna perdamaian. Pengaruh Julius Caesar yang mendefinisikan, Si vis pacem, para bellum (barangsiapa menginginkan damai, siapkanlah perang) cukup besar. Jika kedua pihak seimbang kekuatan militernya, tidak akan ada perang dan lahirlah damai. Inilah perdamaian palsu yang lahir dari "ketakutan bersama".

Damai sejati tidak berdasarkan atas berimbangnya kekuatan seperti ini, tetapi atas dasar berbagi kasih, saling mengisi kekurangan satu dengan yang lain, dan saling bekerja sama untuk membangun dunia yang lebih baik. Damai sejati dengan demikian adalah suatu tatanan nilai dan tugas universal yang berdasarkan pada tatanan masyarakat yang menghargai akal budi dan nilai-nilai moral, dan yang berakar pada Allah sendiri, Sang Kebenaran dan Kebaikan Tertinggi. Jadi damai sejati berasal dari kasih akan Allah dan dari sini mengalirlah kasih akan sesama.

Perdamaian juga mengandaikan keadilan karena damai akan terancam jika hormat pada manusia sebagai pribadi diabaikan. Fungsi keadilan adalah menyingkirkan segala yang menghambat dan merusak perdamaian antarsesama.

JF Kavanaugh dalam Who Count as Persons? (2001) mengingatkan bahwa milenium baru ini akan menjadi suatu zaman saat hormat kepada pribadi manusia akan memudar dan lenyap dan mengembalikan penghormatan ini bukan sekadar jargon moral-akademis, tetapi suatu tugas yang harus menyentuh setiap aspek kehidupan.

Maka, penghormatan pada pribadi manusia dan menghargai hak-hak asasinya merupakan langkah mendasar untuk membangun dunia yang damai, yang mendukung perkembangan integral tiap pribadi yang hidup di dalamnya.

Surat bersama diakhiri dengan dua salam damai dalam bahasa Arab dan Latin, dengan harapan agar salam indah itu menggema di hati umat manusia yang mendengarnya: Assalamualaikum, pax vobiscum!

Benny Phang Dosen Etika,
Anggota Centro Internazionale Sant’ Alberto/ CISA, Roma

Menyoal Pemahaman Kemartiran Yang Keliru



SUARA PEMBARUAN DAILY
3 Oktober 2005

Memahami realitas terorisme dengan suicide bombings yang merebak di mana-mana, banyak orang bertanya, apakah mereka yang mati atas nama agama atau demi nama Tuhan itu sungguh orang yang beriman sejati? Ataukah orang- orang yang tidak memahami ajaran agamanya dengan baik?
Persoalan ini sangat pelik dan perlu keberhati-hatian untuk mencernanya. Untuk itu pengertian yang benar tentang makna kemartiran perlu dibahas, sehingga konteks berpikir tentang paham kemartiran yang keliru bisa dihindari. Saat ini kita dihadapkan kembali dengan bom di Pulau Dewata Bali yang damai tenteram.
Ada dugaan besar bahwa pengeboman ini adalah tindakan suicide bombing. Dalam keadaan hiruk pikuk ini, kita patut berpikir kritis tentang pemahaman kemartiran yang keliru di balik suicide bombings, dan bisa mengambil tindakan yang tepat.
Kata "martir" berasal dari kata Yunani martus yang berarti saksi, yakni seorang yang bersaksi atas suatu fakta yang dia ketahui dari hasil pengamatannya pribadi. Dalam perkembangan waktu, makna kata martir bergeser ke dalam konteks religius.
Kemudian dalam kamus modern, Cambrigde Advance Learner's Dictionary, martir diartikan sebagai orang yang menderita besar atau dibunuh karena kepercayaan religius atau politis mereka, dan seringkali mereka dikagumi karenanya (a person who suffers greatly or is killed because of their political or religious belief, and is often admired because of it).
Jika disimak definisi tersebut dengan teliti, seorang martir adalah seorang yang "menderita besar" atau seorang yang "dibunuh." Mereka berpegang teguh pada kepercayaannya sampai rela menumpahkan darahnya sendiri dan mati dibunuh orang lain, namun tidak pernah menumpahkan darah orang lain.
Risiko
Kematian dalam kemartiran yang sejati bukanlah tujuan, melainkan suatu risiko yang ditanggung atas kepercayaan seseorang. Seorang martir sejati tidak dengan sengaja mencari maut agar mendapatkan gelar kemartiran. Mereka tidak pernah mencari gelar kemartiran dengan memberikan diri untuk dibunuh.
Tapi yang terjadi mereka setia pada kepercayaannya dan apapun yang terjadi mereka rela menanggungnya, bahkan kematian. Martir adalah korban kekejian orang lain yang tidak memiliki kepercayaan yang sama.
Untuk memfokuskan diri pada problem paham kemartiran yang keliru, kita ambil contoh suicide bombers. Ada suatu error dalam pola pikir mereka yang merancang atau yang melakukan suicide bombings. Mereka berpegang teguh, yakin pada imannya tentang kemartiran yang keliru secara mendangkal sampai menumpahkan darah orang lain.
Sebagai akibatnya mereka juga dengan sengaja menumpahkan darahnya sendiri dan mati membunuh diri. Kematian bagi para suicide bombers ini adalah tujuan karena mereka bertujuan membunuh orang lain dan diri sendiri atas dasar kepercayaan yang keliru. Jadi apakah para suicide bombers itu martir? Apakah mereka mati suci? Sampai di sini kesimpulan yang cerdas sudah bisa kita ambil sendiri.
Sekarang masalahnya adalah, mengapa sampai terjadi fenomena suicide bombers? Realitas ini sungguh kompleks. Dalam bukunya Teror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (University of California Press, 2000), Mark Juergensmeyer dengan cerdas menganalisis adanya konsep cosmic war dalam konteks pemikiran agama-agama.
Ada suatu grand narrative peperangan antara yang baik dan yang jahat. Karena konteksnya suatu perang, maka dibutuhkan peran pahlawan dan musuh. Jika musuh tidak ada, musuh maka bisa direkayasa, bisa dipolitisir. Untuk menghancurkan musuh dibutuhkan sikap pengorbanan dari para pahlawan, atau lebih tepatnya "martir."
Korban bermakna menjadikan suci (sacrifice: sacer-facere), jadi mereka yang mengorbankan diri menjadikan diri suci.
Juergensmeyer menambahkan: "...suffering imparts the nobility of martyrdom...the image of cosmic war forge failure - even death - into victory." Jadi mereka yang mati demi agama dan Tuhan, dan membunuh musuh agama dan musuh Tuhan dianggap sebagai martir yang mati suci.
Paham yang keliru ini bertambah parah, ketika dalam konteks cosmic war, konsep "musuh" yang bisa jadi direkayasa dan dipolitisir itu mendapatkan makna de-personifikasi atau de-humanisasi. Musuh, yakni sesama manusia, dianggap sesuatu entitas yang sub-human, dan ditolak kemanusiawiannya.
Maka, janganlah heran kemudian timbul istilah: kutu busuk, anjing, hewan biadab, bahkan setan untuk musuh. Musuh adalah makhluk jahat bukan manusiawi yang patut dihancurkan.
Keliru
Inilah latar belakang pemahaman kemartiran yang keliru. Sebagai contoh kasus konkret, jika dicermati kembali istilah "suicide bomber," istilah ini mengemban dua problem serius dalam tatanan moral. Pertama adalah suicide/bunuh diri. Ajaran moral agama yang benar, jika dicerna dengan nurani yang bersih dan murni, serta akal budi yang sehat, akan menolak bunuh diri.
Setidaknya, agama-agama monotheistik menolak bunuh diri, baik sebagai sarana maupun tujuan. Pertanyaannya sekarang, apakah manusia berhak menghabisi hidupnya sendiri? Tentu saja tidak.
Paham agama yang benar mengajarkan bahwa hidup manusia adalah suatu pemberian dari Yang Mahakuasa. Teologi moral mengajarkan bahwa hidup manusia itu adalah anugerah dari Sang Pencipta. Jadi hidup atau mati adalah hak dari yang memberi hidup.
Manusia, sebagai pihak yang diberi, patut menghargai dengan sungguh anugerah kehidupan ini. Inilah yang dikenal dengan semangat stewardship dari pihak manusia kepada Sang Pemberi Hidup. Manusia bukanlah penguasa atas hidupnya sendiri, tapi hanyalah seorang steward di hadapan Yang Mahakuasa.
Membunuh diri itu melanggar dan menolak hak Allah sebagai pemberi dan penguasa hidup manusia. Manusia tidak berhak mengambil hidupnya sendiri.
Jika manusia tidak berhak begitu saja mengambil atau menghabisi hidupnya sendiri, apalagi mengambil hidup orang lain. Bomber adalah istilah kedua yang perlu dicermati. Para peledak bom dalam suicide bombings menganggap orang lain yang menjadi sasarannya sebagai musuh dengan segala atribut depersonifikasi dan dehumanisasinya.
Seringkali de facto "musuh" yang menjadi sasaran itu adalah musuh rekayasa. Rekayasa dari para elite politik yang mempunyai kepentingan tertentu. Orang-orang yang menjadi sasaran bom adalah orang-orang yang tidak bersalah apa-apa.
Apa salah orang yang mengendarai kereta api bawah tanah? Apa salah orang yang bersantai dalam restoran? Apa salah orang yang bekerja di gedung-gedung pencakar langit? Apakah mereka adalah musuh politik yang sedang diincar sasarannya? Bukan.
Mereka adalah the innocent people yang dianggap musuh, sedangkan mereka sebenarnya bukanlah musuh. Secara moral, direct killing of the innocent people pasti ditolak oleh instansi agama manapun di dunia ini.
Dua logical errors mengakar dalam fenomena suicide bombers, semuanya bersumber pada paham kemartiran yang keliru. Paham keliru ini bukan milik salah satu agama saja. Kalau tidak berhati-hati, paham keliru ini bisa menyebar menjadi milik semua agama, jika mereka mengarah pada fundamentalisme dangkal dalam penghayatan imannya.
Pemahaman kemartiran yang keliru ini perlu dicermati supaya tidak merebak dan berkembang ke mana-mana. Agama adalah sarana perdamaian, bukan alat kekerasan. Paham kemartiran yang keliru ini adalah hasil dari perkawinan agama dengan politik.
Tentu saja untuk mencapai tujuan politik tertentu, alat yang sangat mudah untuk membangkitkan semangat heroisme dangkal adalah agama. Memisahkan agama dari politik membuat agama bertumbuh dalam ruangnya yang sejati. Jika agama bertumbuh dalam ruang kesuciannya yang sejati, maka agama kembali dapat "menyembuhkan" politik, yakni bukan menuturkan the grand narrative of cosmic war, tapi menuturkan dan mengusahakan keadilan dan perdamaian.
"Biarlah kasih dan kesetiaan bertemu, keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman" (Kitab Mazmur 85:11). Semoga kita dengan cerdas dan dengan iman yang baik dan benar menyikapi pemahaman kemartiran yang keliru ini. Damai di bumi.

Thursday, January 10, 2008

Women & Ministry in the New Testament


Book review
The Catholic University of America
March 16, 2002


One of the most pressing issues facing the Church today is that of women in ministry. We look to Scripture for normative statements in this area, yet the word of God revealed to us is conditioned by the history, culture, and theology of the writer. This makes our search for answers a complex journey.

Women And Ministry In The New Testament explores the role and ministry of women in Jesus’ time and in the primitive Church. This exploration takes place against the backdrop of the role of women in ancient Greece, the Roman Empire, and late Judaism. Making use of the results of current biblical scholarship, Elisabeth M. Tetlon, professor in the Department of Religious Studies at Loyola University, New Orleans, examines biblical foundations of ministry, ministry during the lifetime of Jesus and in the early Church, and in particular, the ministry of women as it is described for us in the New Testament.

Starting from the time before Jesus, Elisabeth M. Tetlon explained that the position of women in the Mediterranean world of the first century differed from culture to culture. In general it is possible to say that women were nowhere totally free or equal. Yet Hellenistic, Roman and Egyptian women did enjoy some degree of freedom and exercised a real political, economic, and religious role in their society. First century Judaism lived in the Roman empire and in the cultural milieu of Hellenism. It was unable to ignore secular culture, but had to react to it positively or negatively. Christianity was born into this complex and syncretistic world.

According to Tetlon, in the Old Testament there were two major traditions of ministry, namely, priesthood and ministry of the word. Most of the official ministry in the New Testament era derives from or are similar to offices in the Old Testament tradition of the word: disciple, apostle, prophet, teacher, elder. Because of the bond of the Jewish culture, the role of woman in the Bible is not clearly stated. Sometimes it is reported that women have a significant role, but it is often that their role is somewhat insignificant. Synoptic gospels, for example, reported the insignificant ministry of the women, but the gospel of John gave a significant stress on this matter. Tetlon even argues that in the first Eucharist and in the giving of “power” (Jn 20:21-22), women could be there, because it is reported in the word “disciples,” it could be both men and women there.

In the early Church many kinds of women ministries existed, those were: women apostles, women prophets, women presiders at eucharistic worship, women fellow workers (of male ministers), women preachers and evangelists, women deacons, women as apostolic wives. These many kinds of ministries that the women did in the early Church wanted to say to us that Jesus called both men and women to service in his Church. Service is the primary model of ministry in the New Testament. The ministry of Jesus was characterized through the application of the image and theology of the suffering servant. The gospels portrayed Jesus as teaching his disciples that nature of their ministry was to be like his own, one of service. The Christian servant was to serve both God and the people through total self-offering even to death.

The New Testament gives an indication of many factors which were considered important conditions for Christian ministry, such as faith in the risen Jesus, commission by Jesus or by recognized ecclesiastical authorities, understanding of and ability to communicate the gospel message, and gifting by the Holy Spirit. But the sex of the minister was not relevant for ministerial office either in the teaching and practice of Jesus or in the earliest theology and exercise of ministry in the Church. Sex became a problem, beginning in the second half of the first century, when the Church began to come into conflict with its social milieu and began to adapt its own practice to the mores of that milieu.

Tetlon’s work is a complicated book to read. She explained her argument in a clear but soft and polite way, as a woman; it could become the weakness of her book. But her considerations in this book should be the consideration of the Church, as well, especially our beloved Catholic Church in rethinking the greater role in ministry of the women. The Church has been dominated for centuries by male theologians, but now it is the time for women to be a significant voice in the Church. Tetlon’s work is the one of the significant voice.

In 1976 the majority of the members of the Pontifical Biblical Commission in Rome voted to affirm that scripture does not give sufficient evidence to exclude the possibility of the ordination of women to ministerial office in the Church today. But the Vatican issued the same year “Declaration on the Question of the Admission of Women to the Ministerial Priesthood,” it was asked there whether the Church could depart from the attitude and practice of Jesus and the apostles as reported in scripture and considered normative in the Church. It is described to us that the Church still holds its interpretation of the “attitude and practice of Jesus.” The critical question here, however, is which attitude and practice of Jesus? A humble heart should be there, in the center of the Church; a heart that is listening and learning, even to the simplest voice. Didn’t Jesus say: “I thank you Father, Lord of heaven and earth, because you have hidden these things from the wise and the intelligent and have revealed them to infants.” (Lk 10:21).

We know that it is not easy to change the “tradition” that has been rooted for centuries. The only way for changing in the Church is “evolution,” and actually, by listening and learning from persons such as Tetlon, a gradual change could be done. May her work inspire us, and inspire the work in sexual ethics, to give a greater role to women in the Church’s ministry, equal as fellow human beings with men.

Benny Phang, O.Carm

Tuesday, January 8, 2008

Utilitarianisme dalam Hubungan Antarumat Beragama


Kompas, 20 Desember 2004

PREAMBULE UUD 1945 mencantumkan hakikat dasar bernegara kita dengan menegaskan bahwa, "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa... membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia... dan untuk memajukan kesejahteraan umum... yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa...".

Suatu teks yang sangat religius yang mengakui bahwa negara berhasil memperoleh kemerdekaannya karena rahmat Allah, karena itu negara bertekad untuk melindungi segenap bangsa dan mendasarkan dirinya pertama-tama pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ini suatu pernyataan religius yang sangat inklusif sebagai lawan dari keinginan untuk membentuk kehidupan bernegara dan beragama yang eksklusif. Pernyataan ini disadari oleh para bapa pendiri bangsa sebagai kristalisasi dan perwujudan suatu sikap toleransi yang mendalam dan mengakui prinsip bonum commune (kesejahteraan umum) dalam kehidupan beragama dalam negara kesatuan Republik Indonesia.

Marilah kita menelaah kembali warisan leluhur bangsa ini dalam kenyataan kita di sini dan sekarang. Konsep beragama yang diwariskan sebagai sikap toleran yang mendalam menjadi tercabik karena kepentingan-kepentingan politik tertentu. Konsep beragama toleran telah berganti menjadi konsep beragama yang utilitaris.

Utilitarianisme berasal dari kata utilis (Latin) yang berarti: berguna. Utilitarianisme sering kali disebut dengan teori kesenangan yang terbesar (the greatest happiness theory). Singkatnya, teori ini berbunyi, "seseorang hendaknya bertindak sedemikian rupa sehingga memajukan kesenangan atau kegunaan terbesar dari sebanyak mungkin orang".

Prinsip ini sendiri tidaklah buruk, seperti banyak disalah mengerti. Akan tetapi, dalam pelaksanaan praktis sering kali prinsip ini dengan mudah berbelok menjadi the majority must rule. Kalau sudah demikian aspek "-isme" dari prinsip ini akan memunculkan kelemahan mendasarnya, yakni ketidakadilan.

Utilitarianisme tidak menjamin keadilan, maka dari itu utilitarianisme tidak dapat menjamin hak-hak manusia, terutama hak-hak asasi. Dalam konteks hubungan antarumat beragama yang berprinsip utilitarianisme, hak asasi beragama bagi minoritas dan mengungkapkannya dalam kehidupan tidaklah dapat dijamin. The majority must rule meskipun harus mengorbankan minoritas.

Konsep utilitaris dalam hubungan antarumat beragama bukanlah warisan leluhur para bapa pendiri bangsa dan bukanlah warisan leluhur sejarah bangsa kita. Sejarah membuktikan di tengah jatuh dan bangun kehidupan beragama bersama, ada jalinan hidup rukun damai yang indah.

Semuanya menjadi rusak pada waktu penjajah datang dan mem-brain wash kesadaran luhur bangsa kita dengan politik devide et impera. Prinsip memecah belah untuk dapat memerintah dengan mudah. Prinsip ini telah berevolusi dan masih hidup sampai sekarang. Secara tidak sadar banyak orang masih gemar bermain dengan prinsip devide et impera yang dikemas dalam prinsip utilitarianisme.

Penyimpangan utilitaris dalam kehidupan beragama ini mengingatkan kita akan karya Charles Darwin, Survival for the Fittest. Yang kuat yang menang, mayoritas mesti memerintah. Ini hukum rimba.

Almarhum Romo Mangun sering kali mengutip hal ini. Akan sangatlah kontras jika prinsip rimbaisme ini diterapkan dalam kehidupan beragama yang amat sangat khas manusiawi. Sebab, hanya manusialah yang berakal budi dan berhati nurani dan yang memiliki agama atau kepercayaan.

TIDAK ada satu agama pun yang menggarisbawahi sikap saling makan-memakan. Akan tetapi, sikap rimbaisme ini dipelihara subur oleh kaum yang mengaku diri beragama. Aneh. Contradictio in terminis! Penyimpangan utilitaris ini bisa (dan sudah) berkembang ke arah melahirkan tindakan-tindakan ekstrem dengan logika yang sudah parah terkontaminasi: beragama lain sama dengan berbuat maksiat.

Coba bandingkan. Pelacuran disegel dan dibakar, para pelacur diciduk dan dikucilkan. Rumah ibadat disegel dan dibakar, umatnya dikucilkan. Mereka dikucilkan bukan karena berbuat jahat, tetapi karena beragama lain. Fenomena yang amat aneh. Hasil dari mentalitas penjajah dan terjajah.

Ini bisa dibandingkan dengan rasisme Adolf Hitler yang tertuang dalam tulisannya Mein Kampf (Perjuanganku), ketika dia bicara dengan sikap sinis-arogan tentang rasisme-nya: "Die Voraussetzung hierzu lieght nicht im Verbinden von Höher – und Minderwertigem, sondern im restlosen Siege des ersteren. Der Stärkere hat zu herrschen und sich nicht mit dem Schwächeren zu verschmelzen, um so die eigene Größe zu opfern." (Prakondisi untuk ini-hubungan antar-ras-tidak terletak dalam menghubungkan antara superior dan inferior, tetapi dalam kemenangan total sang superior. Yang lebih kuat harus mendominasi dan tidak bercampur dengan yang lemah karena ini akan mengorbankan keagungannya sendiri).

Mein Kampf akhirnya melahirkan holocaust yang amat menginjak-injak martabat hidup manusia dan itu amat mengerikan. Sejarah hitam yang tidak patut untuk diulang!

Pemilu telah berjalan dengan damai dan indah. Suatu bukti luar biasa kemajuan hidup berdemokrasi bangsa. Tanpa bermaksud membebani, selain hanya mengungkapkan fakta, pemerintahan baru hendaknya kembali menekuni secara serius hal kehidupan antarumat beragama yang sehat dan menjadi pelopor serta moderator kehidupan yang damai dan toleran antarumat beragama.

Damai bukan berarti tidak ada masalah, atau pura-pura tidak ada masalah, tetapi sungguh suatu usaha terus-menerus untuk menggalang persatuan, toleransi, dan kerja sama dalam damai antarumat beragama. Sehingga warisan leluhur bangsa kita tetap menjadi sikap batin yang hidup dalam konsep hubungan antarumat beragama.

Kita dihadapkan pada dua pilihan dasar dalam kehidupan antarumat beragama dalam negara kita, yakni bersikap utilitaris yang bisa terungkap ekstrem seperti dalam Mein Kampf atau dengan kelegawaan kembali lagi menggali warisan luhur pendiri bangsa yang tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila.

Semoga UUD 1945 dan Pancasila tidak dikorbankan oleh nafsu utilitaris kita. Kita pasti memilih untuk maju daripada untuk mundur. Sebagai umat beriman dan beragama mari kita tersungkur mengakui dengan jujur kelemahan kita di hadapan hadirat Sang Mahakuasa yang agung.

Benny Phang
Pemerhati Masalah Etika, Whitefriars Hall-Washington, DC

Menelaah Tendensi "Civic Friendship"


Kompas, 20 September 2004

SITUASI menjelang Pemilu membuat suhu politik menghangat. Suatu dinamika demokrasi yang sehat, yang menandakan, ada kehidupan dalam polis. Mencermati gejala menjelang Pemilu, di Indonesia maupun di Amerika Serikat, ada satu hal yang menarik, merapatnya barisan partai-partai yang berkompetisi.

Merapatnya barisan partai-partai inilah yang menarik ditelaah dalam konteks tendensi ke civic friendship, suatu ide yang disimpulkan Gilbert C. Meilaender, dalam buku Friendship: A Study in Theological Ethics, dari pemikiran Aristoteles dalam Nichomachean Ethics. Sumbangan pemikiran filosofis-etis ini amat menarik untuk dipahami dan direnungkan bersama sebagai bangsa yang sedang berjuang membangun demokrasi sejati.

GUNA memahami ide civic friendship, kita mesti menengok kembali apa pemahaman Aristoteles tentang persahabatan (friendship). Menurut Sang Filsuf, persahabatan memiliki dua kualitas penting yang tidak dapat dipisahkan, yakni preferensial dan mutual. Dua kualitas ini akan membawa pengaruh dalam pemahamannya akan civic friendship.

Persahabatan itu sifatnya preferensial, memilih-milih. Artinya, orang tidak akan menganggap semua orang sebagai sahabatnya. Ada tingkatan-tingkatan tertentu sampai orang menerima orang lain sebagai sahabat. Pertama adalah kenalan, kemudian kawan, baru kemudian sahabat. Persahabatan yang preferensial ini secara hakiki akan mengantar orang pada suatu pilihan akan kelompok. Jika persahabatan itu kian mendalam, maka opsi pada kelompok akan kian intens, sehingga bisa mengarah ke group sufficient. Jika ini terjadi, pintu gerbang terhadap orang lain yang bukan sahabat akan tertutup, bahkan tertutup rapat. Orang Jawa melukiskan ini dalam kalimat terkenal, "Mangan ora mangan asal kumpul." Berkumpul, bersahabat dalam kelompok lebih penting daripada, bahkan, makan.

Selain bersifat memilih-milih, persahabatan juga bersifat mutual, saling menguntungkan. Persahabatan tidak bisa satu arah, maka yang terjadi adalah reciprocity atau simbiosis mutualisme. Dalam konteks polis atau politik yang menjadi bahan simbiosis ini adalah rasa aman, aman dari gangguan pihak lain yang tidak termasuk lingkungan sahabat yang mengancam keberadaannya.

Civic friendship adalah suatu persahabatan dalam konteks politik. Karena terletak dalam kategori friendship maka civic friendship juga bersifat preferensial dan mutual. Mari dicermati konteks ini. Jika persahabatan preferensial itu terjadi dalam lingkungan elite politik, maka yang terjadi adalah merapatnya barisan partai-partai politik tadi dan kian tertutupnya pintu terhadap rakyat. Persahabatan semacam ini bisa menjadi amat berbahaya bagi kepentingan polis atau rakyat. Maka tidak perlu heran, mengapa terjadi fenomena, dalam kampanye rakyat dijadikan kawan, tetapi setelah itu ditinggalkan. Ini karena rakyat bukan sahabat, kawan bisa ditinggalkan atau dilupakan, sahabat tidak.

Dalam konteks persahabatan mutual, merapatnya barisan itu dilakukan demi saling membagi keuntungan, yakni, rasa aman. Aman dalam perlindungan benteng yang kokoh dari para sahabat. Para sahabat yang nota bene dalam konteks elite politik, memiliki sumber-sumber kekuatan besar, baik kekuatan politis, militeristis, atau ekonomis.

Maka, sebenarnya civic friendship bukanlah murni suatu friendship. Civic friendship lebih tepat disebut comrades, yakni, kawan atau teman. Maka jangan heran dalam dunia politik ada istilah “tidak jelas siapa kawan, siapa lawan," karena garis batas kawan dan lawan itu tipis, tidak sekokoh garis batas sahabat dan lawan.

Karena itu, setelah kompetisi melawan partai lain selesai, dan setelah kemenangan politis diraih, maka yang terjadi adalah mengendornya kerapatan barisan dan tampaklah sifat asli civic friendship sebagai comrades. Ini terbukti dengan saling negosiasi internal dalam kelompok tertentu guna mendapatkan berapa banyak kursi di kabinet, berapa banyak kekuasaan yang akan diraih oleh kubu di dalam kubu. Kawan yang bukan sahabat itu dapat saja merapatkan diri atau meninggalkan kelompok demi keuntungan sendiri dan demi rasa aman yang harus dipertahankan.

DI sini kita lihat betapa lemah dan rapuhnya suatu civic friendship. Bentuk persahabatan ini membutuhkan suatu redemptive quality dari bentuk lain yang dapat menutupi kelemahannya. Meilaender, dalam Friendship (2002), menawarkan universal friendship. Persahabatan memang membutuhkan kualitas-kualitas semacam preferensial dan mutual, tetapi kualitas-kualitas persahabatan ini menjadikan persahabatan itu bersifat particular, menyempit, maka ditawarkan suatu persahabatan universal. Persahabatan universal ini, melanjutkan dan memperluas ide Meilaender, mendobrak pintu-pintu yang ditutup oleh persabatan preferensial.

Jadi dalam konteks civic friendship, persahabatan ini membuka juga persahabatan dengan kawan politis, dan yang paling penting, dengan polis atau rakyat. Sehingga di sini “kepentingan rakyat" bukan menjadi suatu jargon basi dari sebuah kampanye politis yang penuh dengan bunga-bunga janji, tetapi menjadi bagian dari hakekat kehidupan negara yang anggotanya dalah para sahabat.

Persabahatan universal dapat juga menuntun bentuk persahabatan mutual menjadi suatu persahabatan yang berorientasi pada kepentingan orang lain, dan tidak mementingkan hal saling menguntungkan. “Friendship demands that one wish a friend good things for his sake," kata Aristoteles dalam Nichomacehan Ethics VIII.2. For his sake, berarti suatu sikap yang keluar dari mementingkan diri menuju ke arah mementingkan orang lain.

Persahabatan ini membuat suatu rasa aman bersama sebagai polis, bukan sebagai individu atau kelompok. Rasa aman yang tercipta bukan lahir dari saling ketakutan, maka dari itu saling melindungi, seperti terungkap dalam jargon politik Julius Caesar si vis pacem, para bellum (jika engkau mau damai, siapkanlah perang).

Keamanan di sini bukan lahir dari rasa takut, tetapi dari kemauan untuk saling memberikan yang terbaik demi sahabat itu sendiri. Akhirnya, persahabatan universal mengajak kita untuk mendobrak garis pemisah antara sahabat dan lawan, karena persahabatan universal adalah persahabatan yang mencakup suatu langkah raksasa, yakni, menjadikan lawan sebagai sahabat atau dalam istilah elegan to love the enemy. Di sinilah letak kekuatan sekaligus keindahan persahabatan universal.

Civic friendship bukan hal yang secara hakiki buruk, tetapi memiliki kelemahan yang signifikan, maka universal friendship amat perlu hadir sebagai suatu redemptive quality. Nama bagi universal friendship ini adalah agape. Maka, di tengah semaraknya dinamika demokrasi ini, sebagai bangsa yang beradab mari kita ber-agape!

Benny Phang
Pemerhati masalah etika, tinggal di Washington, DC