Tuesday, February 26, 2008

Mengikuti Yesus Kristus: Sang Anak Domba Allah

Percikan Permenungan tentang sumbangan spritualitas Karmel bagi pengembangan keadilan sosial

Tahun ini, kita sebagai Karmelit sedang merayakan 800 tahun Regula (1207-2007), cara hidup (formula vitae) kita yang dibakukan dalam bentuk peraturan. Secara kebetulan pula Ordo akan menyelenggarakan Kapitel Jenderal yang bertemakan: “In Obsequio Jesu Christi: Sebuah Komunitas Pendoa dan Profetik di Tengah Dunia yang Sedang Berubah.” Perayaan persaudaraan Ordo ini seolah hendak mengingatkan kita bahwa sudah 800 tahun kita mengikuti Yesus Kristus, dan untuk masa depan kita juga harus tetap setia mengikuti Yesus Kristus.

Dunia memang sedang berubah dengan cepat. Situasi sosial-politis di negara kitapun sedang berubah ke arah yang tidak jelas. Semua pihak berlarian ke sana – ke mari dengan agenda dan kepentingannya sendiri. Kekerasan merajalela. Kasus terakhir adalah IPDN. Tempat pendidikan calon pemimpin rakyat ternyata tersingkap sebagai sarang kekerasan, dan lebih mengenaskannya lagi, budaya kekerasan itu sangat diakrabi oleh generasi muda. Kekerasan itu melahirkan kematian. Benarlah apa yang disinyalir oleh mendiang Yohanes Paulus II dalam ensiklik Evangelium Vitae tahun 1995, bahwa kita sedang berada di tengah pertempuran antara budaya kematian dan budaya kehidupan (the culture of death vs. the culture of life).

Di tengah situasi perjuangan demi kehidupan (Yoh 10:10) inilah Ordo mengingatkan dan mengajak kita kembali untuk “mengikuti Yesus Kristus.” Berjuang demi kehidupan yang berlimpah ini bukanlah lain suatu perjuangan demi keadilan dan perdamaian.

Tanggapan Regula pada pertanyaan bagaimana ini singkat dan jelas: in obsequio Jesu Christi. Masalahnya sekarang Kristus itu begitu agung dan luas, aspek manakah dalam perjuangan keadilan dan perdamaian yang harus mendapat penekanan itulah yang penting? Setelah merenungkan kembali Regula, dalam rekoleksi ini saya menawarkan suatu refleksi tentang Yesus Kristus sebagai Sang Anak Domba Allah. Gelar Yesus ini sudah kita ketahui ketika kita belajar Kristologi, dan sering kita dengarkan serta kita nyanyikan, baik dalam misa kudus maupun dalam ibadat sore, dan gelar ini seolah berlalu saja di telinga dan pikiran saya. Namun saya menjadi sangat terkejut ketika sedang mengambil kelas tentang teori perang yang adil (the just war theory), di mana seorang teolog yang bernama John Howard Yoder menyuguhkan suatu refleksi menolak perang dan kekerasan dengan memaparkan teologi Anak Domba Allah. Saya mau berbagi keterkejutan itu dengan Anda, dan mencoba membacanya dari perspektif seorang Karmelit. Untuk itu saya akan membagi rekoleksi ini demikian:

- Session I: refleksi biblis tentang Anak Domba Allah dan bagaimana regula kita menyiratkan karakteristik gelar Yesus ini di dalamnya.
- Session II: refleksi atas praxis perjuangan keadilan dan perdamaian kita sebagai Karmelit.


In Obsequio Jesu Christi
Obsequor (L) berarti: mengikuti, mengalah, menurut, menyesuaikan diri dengan, menyerahkan diri pada, berbakti. Jadi in obsequio Jesu Christi vivere secara harafiah berarti: hidup mengikuti, mengalah, menurut, menyesuaikan diri dengan, menyerahkan diri pada, atau berbakti pada Yesus Kristus. Istilah ini diambil dari dunia feodal, di mana seorang hamba hidup mengikuti tuannya. C. Cicconetti menjelaskan hal ini dengan mengatakan demikian:

“Mengikuti atau menyerahkan diri pada orang lain (obsequium) menyiratkan tugas-tugas dari pihak tuan maupun hamba. Mereka yang hidup dalam kuasa dari seorang tuan feodal menjanjikan menjadi pelayan yang baik dan setia, membantu dalam perang, dan berpartisipasi dalam menyelesaikan problem atau menjawabi pertanyaan. Sebagai balasannya, sang tuan menjanjikan perlindungan bagi hamba-hambanya.”

Ide feodal ini diangkat dengan baik oleh para bapa pendiri Ordo kita. Mereka mengangkat Kristus sebagai Tuan yang mereka ikuti. Mereka berjuang untuk merebut kembali tanah Kristus (tanah suci). Akan tetapi cara yang mereka pakai berbeda dengan para pasukan perang salib yang menggunakan kekerasan dan kekuatan militer. Para bapa pendiri berjuang demi Kristus dengan peperangan rohani, dan dengan demikian mereka sungguh mengikuti Tuan mereka Kristus yang menderita dan disalibkan, sebagai pribadi dan sebagai komunitas. Maka tidaklah heran kalau di dalam Regula pasal 18-19 kita merasakan ada situasi “peperangan” di dalamnya.

Para bapa pendiri Ordo Karmel menghidupi in obsequio Jesu Christi itu dengan cara hidup mereka yang kemudian tampak jelas dalam tubuh Regula. Apa yang mereka cantumkan dalam prolog tentang mengikuti Yesus Kristus dijabarkan satu persatu. Jadi struktur Regula kita ini sangat Kristosentris. Menurut Regula, hidup mengikuti Yesus Kristus itu adalah:

- hidup taat pada prior, wakil Kristus (ps. 4, 22-3)
- solitudo (ps. 6)
- merenungkan hukum Tuhan, berjaga dalam doa, mendaraskan mazmur, merayakan ekaristi (ps. 10, 11, 14)
- hidup miskin (ps. 12)
- menyangkal diri dengan pantang dan puasa (ps. 16-7)
- mengenakan senjata Allah untuk peperangan rohani (ps. 18-9)
- melakukan semua dalam Sabda Allah (ps. 19)
- kesediaan untuk menjalani penganiayaan (ps. 18)
- keheningan (ps. 21)

Kristosentrisme Regula kita ini rupanya jarang dibahas padahal hal ini merupakan hal pokok dan amat penting dalam hidup seorang Karmelit. Dalam konteks Kristosentrisme Regula kita ini peranan Elia dan Maria (yang sering tampak lebih dominan daripada Kristus) sebenarnya hanya implisit saja. Elia dan Maria sebenarnya adalah model bagi mereka yang mau sungguh hidup mengikuti Kristus. Jika sebagai Karmelit engkau mau mengikuti Kristus secara sungguh, lihatlah dan contohlah hidup Elia dan Maria. Jadi bagi seorang Karmelit, Kristuslah yang utama, setelah itu Elia dan Maria.

Anak Domba Allah
Dalam Kitab Suci dan dalam liturgi, salah satu gelar Yesus yang dikenakan padaNya adalah Anak Domba Allah. Untuk mengerti makna gelar ini dengan baik kita perlu melihat kembali pengertian tentang anak domba dalam tradisi Israel dan kemudian mengapa Yesus disebut sebagai Anak Domba Allah

Anak domba
Anak domba adalah binatang yang lucu, manis, dan polos. Bulunya yang putih bersih seperti kapas dan mukanya yang masih kanak-kanak sangat menarik. Karena masih bayi, anak domba tergantung pada induknya dan sangat tergantung pada perlindungan dari si penggembala. Oleh karena itu anak domba menjadi simbol kelembutan, kesederhanaan, penuh kepercayaan (Mzm 23; 100:3; Yes 40:11; Mat 11:29). Ciri-ciri ini dimiliki oleh Yesus.

Anak domba adalah bahan korban bakaran/persembahan. Berbagai macam kesempatan persembahan menggunakan anak domba sebagai korban. Misalnya: disembuhkannya orang kusta (Im 14:10-32), pembersihan ibu setelah melahirkan dan korban tebusan anak sulung (Kel 34:20), penyucian altar (Bil 7:15-17), singkatnya bagi orang Yahudi anak domba adalah binatang korban, binatang untuk silih, pemulihan hubungan Allah dengan manusia.

Penggunaan anak domba sebagai korban amat berakar pada sejarah Israel pada peristiwa paskah (Kel 12). Kata pascha bisa berarti pestanya maupun anak domba korban (bdk. Yoh 18:28). Pada waktu Allah menghukum mati semua anak sulung Mesir, orang Israel diselamatkan dan dibebaskan dari kematian itu oleh karena darah anak domba yang dioleskan pada pintu-pintu rumah Israel. Kematian anak domba amat diperlukan untuk keselamatan Israel.

Anak Domba Allah
Segala ciri anak domba ini ada pada Yesus, maka Yesus disebut sebagai Anak Domba Allah. Yesus adalah pribadi yang lemah lembut, sederhana, penuh kepercayaan pada Bapa. Yesus juga adalah korban untuk silih, untuk memulihkan hubungan antara Allah dan manusia, yang kematianNya diperlukan untuk keselamatan umat manusia. Bahkan Injil Yohanes mau menampilkan Yesus sebagai Anak Domba Paskah. Di dalam Injil Yohanes penyaliban Yesus terjadi sebelum perayaan Paskah (Yoh 18:28, 19:14), pada saat yang sama anak domba Paskah disembelih di Kenisah oleh para imam. Yesuslah Sang Anak Domba Paskah yang darahNya menjadi silih dan sarana pembebasan dosa manusia. Yesus, Sang Anak Domba Allah dilihat sebagai puncak pengorbanan yang membuat korban-korban anak domba yang lain tidak ada artinya lagi (Ibr 10:8-10). Sang Anak Domba Allah adalah korban persembahan yang paling sempurna!

Gelar Yesus sebagai Anak Domba Allah disenangi oleh umat Kristen. Oleh si Pelihat dari Patmos gelar Anak Domba Allah mendapatkan makna yang lebih lengkap. Jika dalam Injil dan dalam Surat-surat Pastoral Anak Domba Allah bermakna kelembutan dan korban, dalam Kitab Wahyu atributNya ditambah dengan kemuliaan, kekuasaan, hormat dan puji-pujian (Why 5:12).

Dalam Kitab Wahyu sifat lembut masih melekat pada Sang Anak Domba Allah, tapi Dia yang lembut itu membebaskan dan memenangkan kita dari kuasa si jahat (Why 12:10-11; 14:10), mempimpin kita pada kehidupan (7:17), mempunyai kuasa dan kekuatan sempurna yang dilambangkan dengan 7 mata dan 7 tanduk (5:6), buku kehidupan adalah milikNya (13:8; 21:27), ditanganNya ada pembalasan (6:16), menguasai sejarah (6:1). Ia adalah kenisah (21:22) dan terang dalam kehidupan kekal (21:23). Maka dari itu Ia pantas dipuji dan disembah (5:12-14)!

Menarik sekali untuk kita simak bersama “perjalanan” hidup Yesus, Sang Anak Domba Allah. Flow-nya berjalan demikian:

1. Yesus, Sang Anak Domba Allah itu adalah pribadi yang lemah lembut, polos, dan sederhana.
2. Hidup Yesus bergantung penuh pada kuasa dan kehendak BapaNya.
3. Yesus berjuang mengenyahkan kuasa kejahatan, namun bukan dengan kekerasan dan kuat kuasa namun dengan “taat pada Bapa sampai mati, mati di kayu salib” (Flp 2:8). Ia menjadi korban sembelihan seperti anak domba paskah.
4. Ia menang atas kuasa kejahatan oleh karena salib, oleh karena Ia telah disembelih.
5. Maka dari itu Yesus menerima kemuliaan dan kuasa yang besar, yang tiada orang dapat mengungguliNya.

Dari sini bisa kita lihat bahwa dinamika hidup Yesus adalah suatu dinamika perjalanan kenosis yang sehabis-habisnya, namun karenanyalah kemenangan agung didapatkan. Suatu kemenangan yang gilang gemilang yang dinyanyikan dengan lantang oleh Paulus dalam ekstase rohaninya: “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp 2:9-11)


Hidup Mengikuti Anak Domba Allah?
Mari kita kembali ke tema semula, yakni hidup seorang Karmelit dan bagaimana perjuangan demi keadilan dan perdamaian dapat kita lakukan. Kita perlu ingat lagi bahwa hidup Karmelit, termasuk perjuangan demi keadilan dan damai, diringkas dengan rumusan singkat namun amat padat: mengikuti Yesus Kristus. Kemudian bagaimana “mengikuti” itu diuraikan lebih rinci dalam tubuh Regula, seperti tercantum di atas.

Saya melihat bahwa dinamika hidup Karmel dalam Regula berpadanan erat dengan dinamika hidup Yesus, Sang Anak Domba Allah. Bukankah dinamika hidup Karmelit - yang hidup taat, dalam kesendirian dan keheningan, dalam merenungkan hukum Tuhan, berjaga dalam doa, mendaraskan mazmur, merayakan ekaristi; dalam hidup miskin dan menyangkal diri dengan pantang dan puasa; dalam mengenakan senjata Allah untuk peperangan rohani, melakukan semua dalam Sabda Allah, dan kesediaan untuk menjalani penganiayaan, dan jika semuanya dihayati, “Tuhan sendiri akan memberikan ganjaran kepadanya pada waktu Ia datang kembali” (Reg. ps. 24) - adalah dinamika hidup Sang Anak Domba Allah juga?

Saya pribadi menawarkan suatu dasar refleksi teologis bagaimana hidup mengikuti Kristus itu dengan bagaimana hidup seturut Yesus, Sang Anak Domba Allah. Jadi sampai di sini beranikah kita juga menyebut bahwa:

In obsequio Jesu Christi = In obsequio Agni Dei ?


Pertanyaan untuk refleksi:

Bagaimanakah hidup mengikuti Sang Anak Domba Allah itu dapat menjadi sumbangan khas Karmel bagi perjuangan keadilan dan perdamaian?



Kekuasaan dan Ketenaran Politis
Banyak kaum religius yang bergaya profetis tapi tak profetis, hanya sekedar ikut arus supaya dilihat bahwa hidupnya “mendarat.” Lebih menyedihkannya lagi, tampilnya yang “mendarat” itu lalu beriringan dengan semangat mengkritik dan mencurigai setiap latihan rohani, serta menganggap semuanya itu sebagai usaha kuno untuk “fuga mundi.” Percakapan politik lebih menarik hati daripada sharing pengalaman iman. Padahal jika orang-orang bisnis mengadakan dinner, pasti yang mereka bicarakan adalah seputar hal bisnis, finansial, pasar, sesuai dengan profesi mereka sebagai bisnisman. Akan tetapi apa yang terjadi di meja makan kaum religius? Pembicaraan politik? Ketakutan untuk sharing iman, karena takut dianggap sok saleh dan hidup melayang-layang?

Dalam usaha untuk memperjuangkan keadilan dan perdamaian, yang mau tidak mau bersentuhan dengan dunia politik kitapun sering kehilangan arah, dan terkena rayuan berbahaya dari kekuasaan dan ketenaran politis. Bahkan akhir-akhir ini ada seorang uskup yang mencalonkan diri untuk menjadi presiden. Formasiopun diarahkan pada trend politis ini, sehingga hidup doa diabaikan, karena rupanya in the midst of the people itu lebih perlu daripada doa. Kita perlu belajar dari trial and error komunitas Karmel di Filipina, di mana ada joke bahwa “Carmelite” di sana lebih dikenal dengan “Armelite.” Sampai di sini kita perlu bertanya dengan jujur dan kritis: Begitu dangkalkah pengertian kita tentang berpolitik dan menjadi seorang nabi yang memperjuangkan keadilan dan perdamaian? Belum cukupkah pengalaman gelam dan pahit caesaropapisme dari sejarah Gereja?

Di sisi lain, dalam Konstitusi ps. 18 tertulis: “Praktek kontemplasi bukan hanya merupakan sumber hidup rohani kita, tetapi juga menentukan mutu hidup persaudaraan dan pelayanan kita di tengah umat Allah.” Ini berarti keterlibatan kita dalam gerakan politis untuk memperjuangkan keadilan dan perdamaian harus mempunyai landasan hidup rohani yang kuat dan mantap, yang tanpanya perjuangan kita itu menjadi tidak bermutu. Dalam surat bersama para Jendral O.Carm-O.C.D. tahun 1999 dalam kesempatan persiapan memasuki millenium baru, tertulis, “Kontemplasi, inti dari kharisma Karmel, menemukan ungkapan spontannya dalam cinta akan sesama. Ini menuntun kita untuk bertanya mengapa terjadi banyak ketidakadilan dalam dunia kita ini. Komitmen pada keadilan dan perdamaian sangat serasi dengan panggilan kontemplatif kita.”

Diarmuid O’Murchu, seorang imam dan psikolog sosial menjelaskan dengan apik apa artinya menjadi profetis itu: “Seorang nabi mendorong dan memperkuat orang untuk terlibat dalam sejarah, namun kenabian bukan hanya suatu gerakan di sini dan sekarang, yang begitu tenggelam dalam realitas saat ini dan terserap di dalamnya...Seorang nabi dipanggil untuk menumbuhkembangkan harapan. Tepatnya karena pribadi atau gerakan profetis terlibat dalam penderitaan dan kerumitan hidup serta menolak untuk dikalahkan oleh kejahatan. Sang nabi mencari jalan untuk terus bertumbuh dan terus bertahan.” Jadi menjadi nabi keadilan dan perdamaian bukan berdasarkan pada trend, tetapi berdasarkan pada suatu hidup rohani yang mendalam.


Disembelih, namun menerima Kuasa
Jika kaum religius sering terjebak untuk “memakai cincin kuasa,” yang menggoda siapapun yang mendekat padanya, Kristus malah menolak kuasa. Sejak awal sampai akhir Kristus sangat konsisten untuk menolak kuasa. Pada awalnya Kristus melepaskan kuasaNya yang setara dengan Bapa (Flp 2:6-7). Sebelum memulai karyaNya Kristus bergulat dengan si jahat untuk menolak kuasa (Mat 4:1-11). Pada akhirnya, Kristus juga mati tanpa kuasa apa-apa di kayu salib.

Kristus menolak kuasa, karena Ia tahu bahwa kuasa itu setan (diabolic). Namun justru karena Ia menolak kuasa dan menjadi lepas bebas terhadap kuasa duniawi itu, Ia malah mendapatkan kuasa yang jauh lebih besar dan agung. Teringatlah kita akan lantunan nada puisi sang mistikus besar kita, St. Yohanes dari Salib: “Untuk dapat memiliki segala, jangan mau memiliki apapun. Untuk dapat menjadi segala, jangan mau jadi apapun.” Inilah jalan hidup Sang Anak Domba Allah. Inilah yang harusnya menjadi model dari bagaimana seharusnya perjuangan para Karmelit untuk keadilan dan perdamaian.

Di tengah sikap ingin berkuasa dalam menyelesaikan permasalahan keadilan dan perdamaian, kita dapat menawarkan kalimat ajaib ini: "Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!" (Why 5: 12)

Sungguh aneh teks ini bunyinya! Mari kita cerna sekali lagi: “Anak Domba - yang disembelih itu - layak menerima kuasa.” Aneh bukan? Mengapa anak domba yang lemah itu yang menerima kuasa? Bukankah anak domba itu lembut dan tidak sekuat dan segagah singa, misalnya? Imaginasinya semakin aneh ketika kata “disembelih” disertakan di sana. Disembelih adalah berada dalam keadaan tak berdaya sama sekali, keadaan yang mendekati kematian, atau bahkan sudah mati. Akan tetapi mengapa justru “Anak Domba yang disembelih” yang menerima kuasa?

John Howard Yoder menjelaskan bahwa “Kalimat ini bukan melulu suatu paradoks yang tidak dapat dimengerti, tapi suatu afirmasi yang penuh arti, bahwa salib dan bukan pedang, penderitaan dan bukan kuasa brutal yang menentukan arah gerak sejarah.” Aneh bukan? Memang, jalan salib, jalan disembelih, jalan Anak Domba ini nyleneh dan aneh, tapi itulah jalan yang mesti ditempuh oleh para Karmelit yang berani berasaskan hidup in obsequio Jesu Christi.

Tentu kita akan berpikir bahwa jalan “tersembelih” ini adalah jalan yang tidak masuk akal dan tidak efektif. Memang, sebagai manusia lemah kita cenderung untuk memilih jalan pintas untuk menyelesaikan segala masalah. Ketidakadilan yang kita hadapi cenderung ingin kita lawan pula dengan ketidak adilan yang lain. Lalu pertanyaan moral yang timbul adalah: “Apakah kita boleh melakukan kejahatan, supaya kebaikan keluar darinya?” Allah tentu saja dapat menggunakan kuasaNya yang dahsyat untuk menghancurkan struktur yang tidak adil beserta orang-orangnya, tapi mengapa jalan ini tidak ditempuh Allah? Lalu mengapa yang Allah tawarkan malah jalan yang rumit dan sulit yakni kematian di salib? Mengapa Anak DombaNya yang menang jaya itu harus disembelih?

Yoder menjelaskan bahwa justru dengan salib segala macam ketidakadilan sedang ditelanjangi. Jalan ini akan sangat profetis dan sekaligus juga efektif untuk “menyerang” ketidakadilan di dunia ini. Perang Sang Anak Domba Allah harus kita kobarkan dalam membela keadilan. Suatu perang yang melawan kekerasan dengan kelembutan, keinginan untuk berkuasa dengan menjadi tak berkuasa, keinginan untuk menjadi segala sesuatu dengan tidak mengingini segala sesuatu. Inilah perang yang mengandaikan sikap mistik lepas bebas yang mendalam. Yoder kembali mengingatkan kita,

“Kristus telah menang atas kuasa-kuasa dunia. Penelanjangan itu adalah kekalahan mereka...dalam Kristus Allah telah menantang kuasa-kuasa itu, Ia telah menerobos benteng mereka, dan Ia telah menunjukkan bahwa Dia lebih kuat daripada mereka. Bukti nyata dari kemenangan ini adalah bahwa di salib Kristus telah melucuti senjata kuasa-kuasa itu...Ditelanjangi, disingkapkan wajah mereka yang asli, mereka telah kehilangan kekuatan untuk mencengkeram kita. Salib telah melucuti mereka: di manapun salib diwartakan, di situ penelanjangan dan pelucutan senjata dari kuasa-kuasa terjadi.”

Sebagai pribadi dan sebagai komunitas, kita diundang untuk mengikuti jalan salib, jalan tersembelih ini agar perjuangan kita untuk “menyerang” ketidak adilan dengan kuasa salib, kuasa darah Anak Domba (Why 5:9) itu menjadi nyata bagi kuasa-kuasa dunia yang menyombongkan diri.

Kita jadi teringat pula bagaimana Konstitusi ps. 111 mengarahkan perutusan kita untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian di dunia juga menuturkan hal senada:

“Kita hidup dalam dunia yang penuh ketidakadilan dan keresahan. Tugas kita adalah untuk membantu menemukan penyebab keadaaan in, solider dengan penderitaan kaum pinggiran, berpartisipasi dalam perjuangan mereka bagi keadilan dan perdamaian, berjuang bagi pembebasan mereka seutuhnya, dan membantu mereka mewujudkan kerinduan mereka akan hidup yang layak.”

Juga dalam Konsitusi ps. 115, di mana sebagai Karmelit kita diundang untuk:

“menempuh jalan keadilan dengan melawan ideologi palsu dan menuju pengalaman konkret akan Allah yang hidup, jalan solidaritas dengan membela dan memihak pada korban ketidakadilan, jalan mistik dengan berjuang bagi kaum miskin untuk memulihkan kepercayaan pada diri sendiri dengan membarui kesadaran mereka bahwa Allah ada pada pihak mereka.”

Jalan Sang Anak Domba ini lebih sesuai dengan profesi kita sebagai kaum religius. Jalan ini akan sangat berdayaguna apapun bentuk kegitan profetis yang kita lakukan. Entah dengan menjadi pertapa, maupun kalau akhirnya kita didorong oleh Roh Kudus untuk bergerak di lapangan politik.


Keberanian Mengikuti Sang Anak Domba
Mengikuti Yesus Kristus bukan suatu yang mudah. Yesus pernah bersabda, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Mat 16:24) Kita sering takut akan ajakan Yesus ini. Akan tetapi bukankah ini seharusnya adalah cara hidup/formula vitae kita? Hidup Karmelit kita dalam hal memperjuangan keadilan dan perdamaian haruslah sungguh mewartakan kemenangan salib Kristus, seperti Paulus yang berkata, “Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia.” (1 Kor 1:22-25) Memang butuh keberanian untuk menanggapi ajakan Yesus ini. Menjadi berani adalah menjalankan salah satu keutamaan moral. Sudah cukup beranikah kita mengambil risiko untuk mengikuti Sang Anak Domba Allah?

Perjuangan keadilan dan perdamaian kita bukanlah sekedar trend atau ikut-ikutan arus zaman, tapi suatu gerakan berdasarkan hidup rohani yang mendalam dan ex abundantia cordis. Perjuangan itu pasti berat karena tantangannya begitu besar. Kita tidak dapat berjalan sendiri, kita harus berjalan bersama Kristus dan mengandalkan Kristus. Sudah banyak contoh kegagalan dan kehancuran yang terjadi jika kita hanya mengandalkan diri sendiri.

Kapitel Jendral 2007 bertemakan “In Obsequio Jesu Christi: Sebuah Komunitas Pendoa dan Profetik di tengah Dunia yang sedang Berubah.” Saya kira ini semua dimaksudkan agar sebagai Karmelit kita berani untuk membentuk suatu komunitas pendoa dan profetis yang dengan berani pula mewartakan: “Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami.” (2 Kor 4:10) Salib Kristus yang kita hidupi dalam komunitas itu adalah model dari perjuangan keadilan sosial Kristiani kita yang berdaya-guna, karena kita percaya akan kuasa Allah yang bekerja melalui salib Kristus itu. Pada akhirnya inilah sumbangan khas spiritualitas Karmel bagi pengembangan keadilan sosial.

Vicit agnus noster, eum sequamur

Anak Domba kita telah menang, marilah kita mengikutiNya.

Rekoleksi Para Karmelit
Benny Phang, O.Carm
Malang, 18-19 April 2007

No comments: