Monday, May 12, 2008

KAWIN CAMPUR


Kawin campur memang telah menjadi persoalan yang tidak mudah. Artinya suatu perkawinan campur belum tentu bermasalah, tapi juga belum tentu tidak bermasalah. Kebanyakan orang melakukannya berdasarkan emosi sesaat, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya dalam lembaga perkawinan. Alasan yang digunakan kebanyakan adalah kata “cinta” sampai-sampai bisa jadi iman Katolik dikorbankan begitu saja. Dalam artikel singkat ini saya mau menjelaskan sedikit dari Hukum Gereja, karena dari sanalah sumber tentang kawin campur diuraikan secara jelas dan tegas.

Arti Kawin Campur
Kawin campur menurut Hukum Gereja adalah perkawinan antara orang yang dibaptis Katolik dengan mereka yang tidak dibaptis Katolik. Tidak dibaptis Katolik bisa berarti: orang Kristiani dari gereja lain (Protestan, Presbiterian, Methodist, Baptist, Pentakosta, dll), orang yang beragama lain (Islam, Hindu, Buddha, Yahudi, dll), atau orang yang tidak beragama sama sekali (atheis, agnostics). Perkawinan dengan mereka yang berasal dari gereja bukan Katolik disebut mixta religio, sedangkan perkawinan dengan orang yang berbeda agama disebut disparitas cultus.

Prinsip Gereja Katolik

Gereja Katolik bersikap tegas pada perkawinan beda agama dengan menganggap itu sebagai halangan yang membuat perkawinan tidak sah. Dispensasi masih dianggap mungkin jika syarat-syarat yang nanti akan diterangkan di bawah dipenuhi, jika tidak perkawinan dianggap tidak sah.

Gereja Katolik juga mengambil sikap tegas pada perkawinan campur beda gereja, yakni: melarang. Alasan melarang dari gereja adalah untuk menjaga iman pihak yang Katolik. Bisa jadi perkawinan campur itu bahagia dan berjalan baik, tapi sebagian besar perkawinan campur bisa mendatangkan masalah yang tidak mudah untuk dipecahkan. Dengan alasan menjaga iman umatnya, gereja melarang perkawinan campur: larangan untuk melangsungkan pernikahan pada calon dan larangan untuk meneguhkan / memberkati pernikahan pada pejabat gereja.

Memang larangan ini tidak bersifat mutlak dan harga mati. Gereja dalam keadaan-keadaan tertentu yang mendesak bisa memberikan ijin maupun dispensasi. Alasan pemberian ijin atau dispensasi adalah jika masalahnya: masuk akal, artinya tidak dibuat dengan keputusan sembarangan yang membabi-buta, dan wajar, artinya ada proporsi yang seimbang antara beratnya kasus yang membutuhkan pelonggaran dan makna ajaran dan Hukum Gereja. Jadi meskipun dilarang, ijin atau dispensasi masih mungkin dipertimbangan dengan melihat kasus dan keadaan.


Persyaratan Sahnya Perkawinan Campur
Ada beberapa persyaratan penting yang harus ditempuh agar ijin atau dispensasi dapat diberikan pada suatu perkawinan campur beda gereja maupun beda agama. Syarat-syarat itu adalah:

o Janji dari pihak Katolik untuk tidak meninggalkan iman Katoliknya, melainkan tetap berpegang teguh pada imannya. Janji ini juga menyangkut pribadi yang Katolik, dan tidak menuntut pihak non-Katolik untuk pindah ke iman Katolik. Pihak non-Katolik harus mengetahui dan menerima janji dari pasangan Katoliknya.

o Janji dari pihak Katolik yang diketahui juga oleh pihak non-Katolik untuk “mengusahakan sekuat tenaga” membaptis dan mendidik semua anaknya dalam iman Katolik. Ini yang seringkali menjadi berat bagi pihak yang non-Katolik, dan bisa menimbulkan masalah.

o Pemberitahuan tentang sikap Gereja ini pada pihak non Katolik tanpa adanya maksud untuk memojokkan pihak non-Katolik. Semata-mata yang dilakukan di sini adalah untuk bersikap jujur dan tegas, agar pihak non Katolik menyadari benar-benar janji serta kewajiban pihak Katolik dengan segala implikasinya.

o Pengajaran kedua-belah pihak tentang iman Katolik terutama terhadap sakramen pernikahan. Ini sebagai tindak lanjut dari point sebelumnya. Pengajaran menyangkut perkawinan yang monogami, kesetiaan seumur hidup yang menentang perceraian, sakramentalitas perkawinan, dan moral perkawinan seperti KB, aborsi, dan masalah yang lainnya.

Memang tampaknya Hukum Gereja dalam hal perkawinan campur ini terlihat rumit. Pada prakteknya tidaklah demikian. Biasanya pembicaraan bisa berjalan dengan baik dan lancar. Sekali lagi yang mau dipertahankan oleh Gereja Katolik adalah keyakinan iman Katolik dari umatnya, serta pengertian yang bijaksana dari pihak yang bukan Katolik. Hal ini sebenarnya adalah hal yang luhur dan mulia, dan tidak ada sikap unutk merendahkan atau memojokkan agama / keyakinan lain.

Sikap tegas dan jujur dari Gereja ini mau mengajarkan sebenarnya pada pasangan yang tidak bisa tidak melainkan melakukan kawin campur untuk belajar jujur dan terbuka serta saling menghargai iman yang berbeda, tanpa harus mengorbankan begitu saja iman Katolik yang luhur itu.

Semoga dengan pembahasan singkat ini, banyak orang bisa memikirkan masak-masak sebelum melangkah ke perkawianan yang sangat dihargai oleh Gereja Katolik. Agar jika orang sudah memutuskan untuk menikah, mereka melakukannya dengan sikap yang dewasa, dan bukannya karena desakan emosional belaka. Semoga hal ini membantu untuk mengambil sikap pribadi. Gereja selalu membuka diri untuk membantu mengambil keputusan tepat dalam hal perkawinan ini.

Catatan:
Hukum Gereja tentang Kawin Campur bisa dilihat dalam Kitab Hukum Kanonik / Codex Iuris Cononici can. 1124 – can. 1129.


Dimuat dalam Bulletin KKI New York 2003

6 comments:

Unknown said...

Halo Romo, nama saya Dion. Saya punya pertanyaan nie, gmn kalo mantan Pastur katolik yg mau menikah di dalam gereja katolik, apakah diperbolehkan oleh gereja?

Persona Humana said...

Ciao Dion,

Salam kenal. Mantan imam menikah? Bisa saja, tapi ia harus menjalani proses yang namanya "laisasi" yakni dikembalikan status hukumnya sebagai seorang awam. Proses ini makan waktu yang lama dan tidak mudah mendapatkannya. Mendiang Yohanes Paulus II sangat "strict" dalam hal ini, juga Paus yang sekarang.

Unknown said...

Jadi ada kemungkinan ex-pastur tidak mendapatkan "laisasi" itu? Terima kasih romo buat jawabannya.

Persona Humana said...

Mungkin saja terjadi kalau dinilai secara hukum kanonik tidak ada kasus yang menyebabkannya kehilangan hak dan kewajiban sebagai imam. Proses laisasi ini prinsipnya "annulment," yi. "dianggap tidak ada dari semula." Jadi bukan sakramen tahbisan dibatalkan, karena tidak ada manusia yang bisa membatalkan efek rahmat sakramen yang adalah dari Allah sendiri.
Dion, kamu lain kali bisa email saja aku: beniphang@gmail.com. GBU!

Akhmad Setiadi said...

saya adalah seorang islam. saya akhmad tapi sebut saja "boy". mau nanya, kalo orang yang sudah nikah silang (islam-katolik), nah kan dalam nikah silang ada perjanjian dari pihak katolik yang "mengusahakan sekuat tenaga mendidik anak secara katolik", tapi kalo anaknya beragama islam jadinya gimana dong romo??
tolong kasi tau jawabannya kalo jadinya sudah gitu..
thanks. GBU.

Akhmad Setiadi said...

ada lagi yang mau saya tau tapi saya crita dulu. kami adalah sebuah pasangan yang beda agama ( masih pacaran sih). tapi banyak yang menentang hubungan kami, baikk dari orang tua, saudara, teman, atau kerabat yang lainnya. kami rasa kami sudah sangat cocok dan pantas ke jenjang hubungan yang selanjutnya.
jadi saya cuma mau nanya,
1. bagaimana cara kami mau nikah kalau pacaran aja masih sembunyi-sembunyi?
2. bagaimana cara bilangnya ke orang tua, saudara, teman, atau kerabat lainnya tentang hubungan kami dengan cara yang tidak membuat tersinggung?
3. ba?gaimana proses, tahap, pelaksanaan, dan perayaan nikahnya kami ( moga2 jadi kenyataan. amin)?
tolong di kasi jawabannya segera. thank's before